Jumat 12 Jul 2024 08:00 WIB

Greenpeace Kritik UU Konservasi SDA: Masyarakat Adat Terancam

Greenpeace mengatakan secara substansi UU KSDAHE juga bermasalah.

Rep: Lintar Satria / Red: Satria K Yudha
Masyarakat adat Papua Barat dan aktivis lingkungan melakukan aksi unjuk rasa menentang ekspansi kelapa sawit yang mengancam hutan mereka di depan gedung Mahkamah Agung, Jakarta, Senin (27/5/2024).
Foto: EPA-EFE/ADI WEDA
Masyarakat adat Papua Barat dan aktivis lingkungan melakukan aksi unjuk rasa menentang ekspansi kelapa sawit yang mengancam hutan mereka di depan gedung Mahkamah Agung, Jakarta, Senin (27/5/2024).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Greenpeace Indonesia menilai ada sederet masalah dalam proses formil maupun substansi revisi Undang-Undang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (KSDAHE) yang baru saja disahkan pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada Selasa (10/7/2023). Menurut Greenpeace Indonesia, proses pembahasan rancangan perubahan UU KSDAHE sangat minim pelibatan masyarakat.

“Pembahasan rancangan UU KSDAHE tak berjalan transparan. Sejumlah organisasi masyarakat sipil kesulitan untuk memonitor prosesnya," ” kata Sekar Banjaran Aji, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia dalam siaran pers Kamis (11/7/2024).

Baca Juga

Sekar mengatakan, pemerintah dan DPR mengabaikan partisipasi publik yang bermakna dalam proses penyusunan dan pembahasan RUU KSDAHE. Greenpeace mengatakan secara substansi UU KSDAHE juga bermasalah.

Undang-Undang Konservasi ini dinilai masih menggunakan paradigma lama yang mengeksklusi masyarakat adat dan komunitas lokal dalam perlindungan ekosistem. Greenpeace mengatakan pemerintah dan DPR tak mengakomodasi usulan masyarakat sipil agar memastikan adanya pengakuan, partisipasi, dan perlindungan masyarakat adat dan komunitas lokal dalam UU KSDAHE.