REPUBLIKA.CO.ID, MALANG–Akibat tidak terkendalinya banjir di Indonesia saat musim penghujan dosen Ilmu Keperawatan Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) Tutu April Ariani melakukan penelitian keperawatan holistik dan pengajian Alquran serta dampaknya terhadap penyintas banjir di Indonesia.
Menurut Tutu korban banjir harus bisa mempertahankan mentalnya dalam keadaan yang terjepit, sekalipun pada saat banjir. Ia mengatakan manfaat yang ingin dicapai pada penelitian ini adalah para korban bisa bertahan dalam keadaan terpaksa sekalipun terutama bencana.
“Sebelumnya, saya telah melakukan review literatur dari berbagai jurnal internasional. Sampai akhirnya saya menemukan jumlah sesi yang efektif untuk dilakukan, yaitu delapan sesi,” kata Tutu, Jumat (12/7/2024).
Menurutnya terapi baca Alquran berulang-ulang dengan surah yang diinginkan memiliki karakteristik yang sangat khas dan unik. Sebab, walaupun tidak memahami makna surah yang dibaca, korban tetap bisa mengungkapkan perasaan mereka dengan adanya ujian banjir yang selalu datang setiap tahunnya.
"Awalnya mereka terpaksa menerima keadaan pasca banjir, namun sekarang mereka bisa jauh lebih ikhlas menerima bencana yang ada," katanya.
Tutu mengatakan ia mulanya melakukan terapi untuk korban banjir bandang. Namun setelah dievaluasi kembali, metode ini dapat digunakan untuk korban bencana yang lain.
Menurutnya, dengan adanya terapi ini, reaksi para korban saat menghadapi bencana tidak seheboh sebelumnya. Jika terdapat pengumuman banjir dan bencana lainnya, mereka menjadi lebih ikhlas dan tahu harus melakukan apa.
“Memang harus mengamankan diri saat bencana. Namun, setelah terapi mereka mengaku jauh lebih tenang dibandingkan sebelumnya. Alhamdulillah hal ini tidak hanya dirasakan oleh satu dua orang saja,” katanya.
Penelitian Tutu ini dijalankan pada warga yang terbiasa mengalami banjir bandang tahunan atau annual di daerah Baleendah dan Dayeuhkolot, Jawa Barat. Banjir terjadi karena sungai buatan yang tidak dapat dialirkan dan berhenti di sekitar kawasan tersebut.
“Terapi ini sementara memang dikhususkan untuk wanita berusia 18 hingga 67 tahun, karena biasanya mereka memiliki waktu yang paling fleksibel untuk terus melaksanakan terapi ini. Terapi ini harus dilakukan terus menerus dua kali dalam seminggu. Ini belum diterapkan pada warga masyarakat berjenis kelamin laki-laki karena khawatirnya mereka bekerja, dan tidak bisa konsisten mengikuti terapi. Karena jika tidak rutin, maka harus di drop out. Sehingga hanya didapatkan 17 orang yang rutin dan tidak meninggalkan sesi terapi,” katanya mengakhiri.