Ahad 14 Jul 2024 14:38 WIB

Kisah Buya Hamka Diajak Jadi Pengikut Komunis

Dia beberapa kali membujuk Hamka untuk menjadi pendukung komunisme.

Buya Hamka
Foto: Dok. Muhammadiyah
Buya Hamka

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Haji Abdul Karim Amirullah (Hamka) merupakan ulama pujangga yang hidup pada masa perjuangan. Dia pun aktif di dunia penerbitan dengan menjadi Pemimpin Redaksi Majalah Pedoman Masyarakat yang berkantor di Medan, Sumatra Utara. Sebagai seorang wartawan, Hamka bersinggungan dengan banyak kalangan. Dia tak membatasi pergaulannya meski dikenal sebagai angku haji muda yang aktif di Muhammadiyah.

Akmal Nasery Basral dalam Buya Hamka Merangkai Makna di Mihrab Ulama mengungkapkan, Hamka juga bersahabat dengan seorang pemuda komunis bernama Warman. Pemuda ini dikisahkan mengkritik salah satu karya fenomenal Hamka, Merantau ke Deli. Dia keberatan karena karyanya itu kerap menguras air mata pembaca. Warman menginginkan agar karya-karya Hamka mendorong para pemuda untuk menjadi pengikut komunis dan mengangkat senjata melawan Belanda.

Baca Juga

Dikritik oleh Warman, Hamka tidak pernah tersinggung. Dia maklum karena Warman adalah kawan berhajinya 12 tahun silam. Waktu itu, dia berusia 19 tahun sedangkan Warman tiga tahun lebih tua. Mereka berangkat dari Pelabuhan Belawan, berkenalan di kapal. Mereka cepat akrab. Sepulang berhaji, Hamka cukup sering berkomunikasi dengan Warman. Dia tahu jika sahabatnya itu mendalami ideologi komunisme. Meski demikian, dia menolak jika disebut ateis. Dia mengaku sebagai Muslim yang komunis.

Dia beberapa kali membujuk Hamka untuk menjadi pendukung komunisme meski selalu ditolak oleh sang Angku Haji. Sebaliknya, Hamka pun mengajak Warman kembali kepada ajaran Islam. Warman ingin agar Hamka bersuara lebih keras kepada pemerintah kolonial. Dia menginginkan temannya yang memilik kekuatan tempur lewat pena bisa lebih keras mengkritik para tuan tanah yang berlaku zalim kepada kuli-kuli pribumi.

Untuk kritik Warman, Hamka mempunyai jawaban jitu. Dia berkata tegas sedang memperkuat dasar kebudayaan negerinya tercinta. Jika dibandingkan dengan Mesir, Hamka merasa peradaban negerinya tertinggal hingga 50 tahun. Mesir sudah mengonsumsi karya-karya unggul seperti Goethe, Maupassant, Gorky, Anatole France, Chekhov, Baudalare, hingga Hemingway yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab.

Tak sekadar menerjemahkannya, karya-karya itu diolah sesuai dengan kekhasan masyarakat setempat. Seperti apa yang dilakukan bangsa Arab terhadap karya-karya Yunani. Ibnu Rusyd, Ibnu Sina, Al Farabi mengunyah karya-karya Yunani klasik sehingga cocok dengan zamannya.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement