Sabtu 13 Jul 2024 15:41 WIB

WHO: 1 Juta Anak Kongo Terancam Kekurangan Gizi Akut

Konflik dan krisis pengungsi menjadi pendorong utama kerawanan pangan di Kongo.

Seorang gadis muda menggendong saudara perempuannya berdiri di luar kamp pengungsi di pinggiran Goma, Republik Demokratik Kongo, Kamis, 11 Juli 2024. Pejabat tinggi PBB di Kongo pada hari Senin menyambut baik gencatan senjata kemanusiaan yang telah berlangsung selama dua minggu.
Foto: AP Photo/Moses Sawasawa
Seorang gadis muda menggendong saudara perempuannya berdiri di luar kamp pengungsi di pinggiran Goma, Republik Demokratik Kongo, Kamis, 11 Juli 2024. Pejabat tinggi PBB di Kongo pada hari Senin menyambut baik gencatan senjata kemanusiaan yang telah berlangsung selama dua minggu.

REPUBLIKA.CO.ID, JENEWA -- Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperingatkan bahwa satu juta anak di Republik Demokratik Kongo (DRC) akan menderita kekurangan gizi akut jika tidak segera dilakukan tindakan. Hal itu menyusul konflik bersenjata dan krisis pengungsian di negara tersebut. 

“Jika tindakan segera tidak diambil untuk memenuhi kebutuhan dasar di Kongo, lebih dari satu juta anak akan menderita kekurangan gizi akut,” kata pejabat senior darurat WHO Adelheid Marschang seperti dikutip dari Anadolu, Sabtu (13/7/2024). 

Baca Juga

Konflik dan krisis pengungsi menjadi pendorong utama kerawanan pangan di Kongo, kata Marschang. Laporan terbaru mendapati 40,8 juta orang menghadapi kekurangan pangan yang serius di negara Afrika itu dengan 15,7 juta orang menghadapi kerawanan pangan yang parah dan risiko malnutrisi dan penyakit menular yang lebih tinggi. 

Marschang menuturkan bahwa dalam beberapa bulan terakhir, Kongo telah menghadapi meningkatnya konflik dan kekerasan, yang menyebabkan pengungsian massal, meluasnya penyakit, dan kekerasan berbasis gender, serta trauma mental yang parah, khususnya di bagian timur negara itu. DRC juga tercatat sebagai negara dengan jumlah orang yang membutuhkan bantuan kemanusiaan tertinggi di seluruh dunia karena 25,4 juta orang terkena dampak. 

“Meskipun demikian, krisis ini masih merupakan salah satu krisis yang paling kekurangan dana,” ucapnya. 

Pejabat WHO itu juga menyoroti jumlah total pengungsi yang berjumlah sekitar 7,4 juta dan mengatakan perpindahan massal tidak hanya membebani sistem air dan sanitasi tetapi juga mengakibatkan wabah kolera, campak, meningitis, dan cacar monyet. 

Semua kondisi tersebut semakin diperparah oleh banjir besar dan tanah longsor yang melanda beberapa wilayah di negara itu. Pada 2024, lebih dari 20.000 kasus kolera dan hampir 60.000 kasus campak telah dilaporkan. Jumlah tersebut sebenarnya mungkin akan lebih tinggi karena terbatasnya pengawasan penyakit dan pelaporan data. 

Sementara itu, WHO telah menjangkau 460.000 orang dengan layanan kesehatan darurat di daerah yang terkena dampak konflik sepanjang tahun ini. Marschang menekankan bahwa akses kemanusiaan masih sangat dibatasi oleh kehadiran militer sembari menyerukan akses yang berkelanjutan dan tanpa hambatan, serta mendesak semua pihak untuk bekerja sama memulihkan perdamaian.

sumber : Antara
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement