Sabtu 13 Jul 2024 16:47 WIB

Perekonomian Israel Nampak Baik-baik Saja, Benarkah? 

Ekonom memperingatkan adanya krisis ekonomi yang mendalam di Israel.

Rep: Eva Rianti/ Red: Friska Yolandha
Israel mengalami kejatuhan ekonomi akibat perang melawan Palestina yang masih bergulir hingga saat ini.
Foto: EPA-EFE/MOHAMMED SABER
Israel mengalami kejatuhan ekonomi akibat perang melawan Palestina yang masih bergulir hingga saat ini.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Israel mengalami kejatuhan ekonomi akibat perang melawan Palestina yang masih bergulir hingga saat ini. Perang Israel di Gaza berdampak pada kondisi lapangan kerja, kualitas hidup, serta belanja swasta dan publik di negara tersebut.

Mengutip dari Times of Israel, para ekonom memperingatkan adanya krisis ekonomi yang mendalam di Israel, atau bahkan keruntuhan. Beberapa perusahaan pemeringkat kredit internasional juga telah menurunkan peringkat dan perkiraan negara tersebut.

Baca Juga

Perang yang berkepanjangan melawan Hamas, mobilisasi pasukan cadangan IDF yang meluas, hubungan internasional yang goyah, belanja publik yang besar, cara pemerintahan dikelola, dan upaya untuk melemahkan dasar-dasar pemerintahan demokratis, adalah sederet penyebab krisis ekonomi di negeri Zionis.

Namun, barometer utama situasi ekonomi tidak menunjukkan adanya krisis yang mendalam, tak ada satupun yang bagus, tapi juga tidak buruk. Berdasarkan langkah-langkah ini, situasinya sedikit lebih buruk dibandingkan sebelum perang, namun jauh lebih baik dibandingkan bulan-bulan pertama.

Indeks utama di Bursa Efek Tel Aviv lebih tinggi dibandingkan sebelum perang dan mendekati rekor yang terlihat pada 2022. Indeks Tel Aviv 35 ditutup pada Ahad di 1.984.9 poin. Indeks ini melampaui 2.000 pada Januari, April, dan Agustus 2022, dan tidak lagi mencapai angka tersebut sejak saat itu. Sebelum perang, angkanya berada di sekitar 1.830 poin.

Ketika perang dimulai pada 7 Oktober, indeks turun, tetapi pada akhir bulan bursa saham mulai pulih. Indeks Tel Aviv 35 mencapai sekitar 1.850 pada akhir Desember, sedikit lebih tinggi dibandingkan sebelum perang. Sekarang, angkanya sekitar 8 persen lebih tinggi dibandingkan sebelum perang.

Sebelum pemerintahan saat ini dilantik, bursa saham lokal hampir menyamai bursa saham utama di AS, Eropa, dan Asia Timur. Saat ini, Tel Aviv tertinggal jauh di belakang mereka, dan dalam 1,5 tahun terakhir, sebagian besar bursa saham tersebut telah meningkat jauh lebih tinggi. Namun, kenaikan indeks Tel Aviv cukup memuaskan, mengingat kondisi setempat.

Nilai tukar syikal dengan mata uang Barat juga mendekati nilai sebelum perang. Pada Sabtu, nilai tukar dolar AS ditentukan pada NIS 3,75, delapan agorot lebih rendah dari nilai tukar terakhir sebelum perang, pada 5 Oktober.

Selama krisis pandemic Covid-19, syikal menjadi salah satu mata uang terkuat di dunia berkat berkembangnya industri teknologi tinggi. Pada 2022, gelembung Covid-19 pecah, dan dolar AS naik menjadi sekitar NIS 3,5. Lalu pada 2023 terus naik, dan September lalu sudah mencapai NIS 3,8.

Ketika perang pecah, dolar AS melonjak hingga lebih dari empat syikal, namun pada akhir Desember, nilai tersebut turun menjadi sekitar NIS 3,6, lebih rendah dibandingkan sebelum perang. Saat ini, berkisar antara NIS 3,7 dan NIS 3,8.

Adapun, euro telah menguat lebih dalam dua tahun terakhir dibandingkan dengan dolar AS karena alasan yang tidak terkait dengan Israel. Namun euro mengikuti tren yang sama dalam kaitannya dengan syikal seperti dolar AS. Nilai tukar euro berada di angka empat syikal pada akhir September dan melonjak ketika perang dimulai, namun kembali turun sejak saat itu dan saat ini berada pada kisaran NIS 4,04.

Pengangguran meningkat....

 

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement