Senin 15 Jul 2024 17:48 WIB

Pakar: Pegi Setiawan Belum Aman dari Jerat Pidana

Penetapan tersangka terhadap Pegi harus menggunakan bukti baru.

Rep: Bambang Noroyono/ Red: Teguh Firmansyah
Pegi Setiawan tiba di rumahnya di Desa Kepongpongan, Kecamatan Talun, Kabupaten Cirebon, Selasa (9/7/2024). Kedatangannya disambut ratusan warga. Pegi juga melantunkan sholawat dan menyampaikan terima kasih kepada warga yang menyambutnya.
Foto: Republika/Lilis Sri Handayani
Pegi Setiawan tiba di rumahnya di Desa Kepongpongan, Kecamatan Talun, Kabupaten Cirebon, Selasa (9/7/2024). Kedatangannya disambut ratusan warga. Pegi juga melantunkan sholawat dan menyampaikan terima kasih kepada warga yang menyambutnya.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Pegi Setiawan (PS) masih belum aman dari status hukum baru pascagugurnya label tersangka terkait kasus pembunuhan Vina dan Eky di Cirebon, Jawa Barat (Jabar). Praktisi hukum pidana Boris Tampubolon mengatakan, meskipun putusan praperadilan PN Kota Bandung sudah menggugurkan status tersangka terhadap Pegi, namun Polda Jabar dapat kembali menebalkan status hukum yang sama terhadap buruh bangunan 27 tahun itu.

Penetapan tersangka baru terhadap Pegi, kata Boris, diharuskan menggunakan bukti-bukti baru. “Secara prinsip hukum, jangankan Pegi, siapa pun masih dapat ditersangkakan selama ada bukti keterkaitannya dalam kasus pembunuhan Vina ini,” kata Boris dalam keterangan pers yang diterima, di Jakarta, Senin (15/7/2024).
 
Akan tetapi, Boris mengingkatkan kepolisian perihal Peraturan Mahkamah Agung (MA) Nomor 4/2016 tentang Larangan Peninjauan Kembali Putusan Praperadilan.
Dalam Pasal 2 ayat (3) Peraturan MA itu menebalkan, putusan praperadilan yang mengabulkan permohonan terkait dengan tidak sahnya penetapan tersangka, tak menggugurkan kewenangan penyidik dalam penetapan tersangka ulang terhadap pemohon.
 
Dalam penetapan tersangka ulang yang dilakukan penyidik tersebut, harus berdasarkan bukti-bukti baru yang berbeda dari dasar penetapan tersangka sebelumnya dalam perkara yang sama.
 
“Jadi kalau Pegi mau ditersangkakan lagi, maka penyidik harus menggunakan bukti-bukti yang sah dan baru, yang berbeda dengan alat-alat bukti yang sudah ada sebelumnya. Artinya, alat buktinya tidak boleh sama dari yang sebelumnya,” kata Boris.
 
Pun, kata Boris menegaskan, bukti-bukti baru tersebut, harus berdasarkan temuan penyidik yang bersumber dari validitas terkait perkara. Kemudian juga diperoleh dari prosedur yang sesuai. Artinya, kata Boris bukan alat-alat bukti hasil dari rekayasa.
 
“Karena bila bukti-bukti baru itu diperoleh secara tidak sah, maka bukti-bukti tersebut tetap tidak bisa digunakan sebagai alat bukti, dan tidak memiliki nilai pembuktian,” ujar Boris.
 
Menurut Boris, dalam kasus pembunuhan Vina dan Eky ini, sejumlah bukti baru sebetulnya masih dapat diperoleh. Selain itu, dikatakan Boris, dalam sistem pembuktian pidana di Indonesia, memberikan celah putusan yang berdasarkan atas keyakinan hakim. “Artinya alat bukti yang dikumpulkan, harus bisa meyakinkan hakim,” ujar Boris.
 
 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement