Rabu 17 Jul 2024 06:45 WIB

Tradisi Berburu Madu di Nepal Terancam Perubahan Iklim

Tingginya kebakaran hutan di Nepal berdampak ke turunnya produksi madu.

Rep: Lintar Satria/ Red: Indira Rezkisari
(Foto: ilustrasi Lebah Madu)
Foto: Pixabay
(Foto: ilustrasi Lebah Madu)

REPUBLIKA.CO.ID, LAMJUNG -- Perubahan iklim diduga berdampak pada panen madu yang dikenal "mad honey" di Nepal. Mad honey memiliki rasa manis menyengat yang menurut para kolektor memberikan dengungan memabukkan dengan sifat psikoaktif ringan yang berasal dari nektar rhododendron yang disukai lebah.

Tidak pernah mudah untuk memanennya. Pemburu atau pengumpul madu mengikat diri mereka dengan tali dan tangga bambu di jurang pegunungan Himalaya untuk mengumpulkan madu halusinogen yang mahal itu. Tapi kini tradisi memanen madu tersebut terancam degradasi lingkungan dan perubahan iklim.

Baca Juga

Dibalut asap untuk mengusir pertahanan lebah raksasa, Som Ram Gurung bergelantungan berbahaya 100 meter dari tanah. Ia membelah kegelapan dan meneteskan bongkahan sarang lebah yang lezat.

Warga desa-desa di distrik Lamjung menilai keuntungan mengumpulkan madu itu setara dengan resikonya. Madu dataran tinggi berasal dari spesies lebah madu terbesar di dunia, Apis laboriosa, yang menyukai tebing yang sulit dijangkau.

Namun kini warga menghadapi tantangan ekstra yang sebagian besar disebabkan perubahan iklim. Para pemburu madu mengatakan perubahan pola cuaca dan ancaman lingkungan berdampak pada lembah-lembah hutan terpencil mereka, 100 kilometer di sebelah barat laut Kathmandu.

Doodh Bahadur Gurung, 65 tahun, yang mengajari putranya Som Ram mengumpulkan madu mengatakan para pemburu melihat penurunan jumlah sarang lebah dan jumlah madu yang dipanen dengan cepat.

"Ketika kami masih muda, dulu ada sarang lebah di hampir semua tebing karena banyaknya bunga liar dan sumber air, tapi seiring berjalannya waktu, semakin sulit menemukan sarang lebah," kata Doodh Bahadur, seperti dikutip Japan Today, Rabu (17/7/2024).

Menurut Doodh Bahadur penurunan jumlah lebah diakibatkan curah hujan yang semakin tidak teratur, kebakaran hutan, pestisida pertanian, dan pengalihan aliran sungai akibat lonjakan bendungan pembangkit listrik tenaga air dan pembangunan jalan yang menyertainya.

"Sungai-sungai mengering karena proyek-proyek hidro dan curah hujan yang tidak teratur," katanya.

Ia menambahkan lebah liar lebih suka bersarang di dekat air. "Lebah yang terbang ke pertanian juga menghadapi masalah pestisida, yang membunuh mereka," tambahnya.

Dengan hujan yang tidak menentu, musim dingin yang lebih kering dan panas yang menyengat, kebakaran hutan menjadi lebih sering terjadi.

Data pemerintah menunjukkan tahun ini Nepal menangani lebih dari 4.500 kebakaran hutan, hampir dua kali lipat dari tahun sebelumnya. "Kebakaran hutan lebih sering terjadi sekarang, tidak ada cukup banyak anak muda yang bisa memadamkannya tepat waktu," kata Doodh Bahadur.

Satu dekade yang lalu, desanya, Taap, dapat memanen 1.000 liter madu dalam satu musim. Hari ini, kata Doodh Bahadur, mereka menganggap diri mereka beruntung mendapatkan 250 liter.

Pengamatan para pemburu madu dikonfirmasi para ilmuwan. Menurut para ilmuwan kenaikan suhu akibat perubahan iklim yang disebabkan pembakaran bahan bakar fosil merupakan faktor kunci.

"Lebah sangat rentan terhadap perubahan suhu, mereka makhluk liar dan tidak dapat menyesuaikan diri dengan gerakan atau kebisingan manusia, yang secara langsung mempengaruhi lebah liar," kata pakar lebah dari Institut Ilmu Pengetahuan Terapan Kathmandu Susma Giri.

Pada bulan Mei lalu badan regional antara pemerintah International Centre for Integrated Mountain Development (ICIMOD) memperingatkan setidaknya 75 persen tanaman Nepal bergantung pada penyerbuk seperti lebah.

"Di antara faktor utama penurunan jumlah mereka adalah perubahan iklim dan hilangnya habitat, berkurangnya penyerbukan yang terjadi menimbulkan konsekuensi ekonomi yang mengkhawatirkan," kata ICIMOD dalam laporannya.

Penelitian yang dipublikasikan di jurnal Environmental Health Perspectives pada tahun 2022 lalu menghitung kerugian tahunan akibat berkurangnya penyerbukan di Nepal yang mencapai 250 dolar AS per kapita. Jumlah yang sangat besar di negara dengan pendapatan rata-rata tahunan sebesar 1.400 dolar AS.

Berkurangnya pasokan berarti madu langka ini memiliki harga yang tinggi. Dengan turunnya pasokan maka harga madu langka Nepal semakin tinggi. Dua dekade yang lalu madu itu dijual 3,5 dolar AS per liter kini dijual seharga 15 dolar AS.

Para pedagang mengatakan permintaan dari Amerika Serikat, Eropa, dan Jepang naik setelah tersebarnya manfaat madu ini di media sosial. Para pedagang madu di Kathmandu memperkirakan ekspor tahunan sekitar 10.000 liter, dan di pasar internasional, satu pot "mad honey" seberat 250 gram dapat dijual seharga 70 dolar AS di internet.

"Permintaan akan 'mad honey' meningkat setiap tahunnya, tetapi kualitas produksi menurun," kata eksportir madu yang berbasis di Kathmandu, Rashmi Kandel.

Dengan mengeringnya madu, semakin sedikit anak muda yang ingin bergabung dalam perburuan tradisional di gunung selama sebulan penuh. Di seluruh Nepal, anak-anak muda meninggalkan kehidupan pedesaan dan mencari pekerjaan dengan gaji yang lebih baik di luar negeri.

Politisi lokal dan bagian dari tim pemburu madu, Suk Bahadur Gurung khawatir generasi berikutnya tidak akan melanjutkan tradisi berburu madu ini. "Anda membutuhkan keterampilan dan kekuatan, tidak banyak anak muda yang mau melakukannya," kata Suk Bahadur.

Som Ram Gurung mengulurkan tangan dan kakinya yang bengkak setelah turun dari tebing. "Sengatan-sengatan menutupi tubuh saya," kata pria berusia 26 tahun itu. Ia menambahkan ia akan bekerja di sebuah pabrik di Dubai dengan gaji sekitar 320 dolar AS per bulan. Ayahnya, Doodh Bahadur, menyesalkan berkurangnya jumlah lebah dan kepergian para pemuda.

"Kami kehilangan segalanya, masa depan tidak pasti bagi semua orang," katanya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement