Rabu 17 Jul 2024 07:46 WIB

Konflik Antar-Sahabat Nabi di Mata Sunni dan Syiah

Konflik Antar-Sahabat Nabi itu murni dilatarbelakangi ijtihad, bukan ambisi duniawi.

Rep: Nashih Nasrullah/ Red: Hasanul Rizqa
ILUSTRASI Perang Siffin. Konflik sahabat di mata Sunni dan Syiah.
Foto: dok wiki
ILUSTRASI Perang Siffin. Konflik sahabat di mata Sunni dan Syiah.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Nabi Muhammad SAW bersabda, "Sebaik-baik manusia ialah pada generasiku (sahabat), kemudian generasi berikutnya (tabiin), kemudian generasi berikutnya (tabiut tabiin)” (HR Bukhari-Muslim). Hadis itu mengisyaratkan, besarnya pengaruh pendidikan yang dilakukan Rasulullah SAW terhadap kaum Muslimin pada masanya.

Namun, sesudah Nabi SAW wafat, pada faktanya umat Islam dilanda perpecahan. Intrik politik dan perebutan kekuasaan menghiasi lembaran sejarah peradaban kaum Muslimin pasca masa-beliau.

Baca Juga

Satu di antara noktah-noktah yang kerap diungkit adalah perselisihan yang melibatkan sejumlah sahabat dan tabiin. Rentetan pertikaian itu menimbulkan perdebatan panjang dan memunculkan friksi yang tegas antara dua kubu hingga kini, yaitu Sunni dan Syiah.

Masing-masing pihak memiliki paradigma dan perspektif yang--sebagaimana ungkapan bijak--jauh api dari panggangnya. Nyaris tak bertemu. Khususnya bagi Syiah pada umumnya, konflik itu dianggap sebagai penyebab, mengapa sejumlah sahabat layak disalahkan atas kejadian yang menimpa Ali bin Abi Thalib dan segenap keluarganya.

Mengutip sejumlah literatur utama Syiah, seperti Al-Fushul al-Muhimmah fi Ushul al-A'immah, Majma' al-Faidah, dan Manhaj al-Faqahah, para sahabat itu dianggap berbuat fasik, bidah, atau bahkan--pada titik tertentu--telah kafir. Sikap itu merujuk pada "hadis" dalam tradisi Syiah bahwa Rasulullah SAW diyakini pernah menyerukan, jika muncul para ahli bidah, maka sering-seringlah mencaci maki mereka.

Namun, tidak demikian dalam tradisi Sunni. Para sahabat Rasulullah SAWtetap menyandang gelar 'udul, yakni berintegritas, dan kredibel, walau mereka terlibat dalam konflik pasca-wafatnya Nabi SAW. Sunni memandang, posisi sahabat sangat strategis dan vital.

Bangunan risalah yang diturunkan dari Rasulullah SAW secara turun menurun memosisikan sahabat sebagai muara dan hulunya. Menyerang sahabat sama saja meruntuhkan fondasi itu.

Imam Abu Hasan al-Asy'ari dalam kitabnya, Risalah ilaa Ahl ats-Tsaghar mengomentari konflik yang menimpa sejumlah sahabat Nabi, yakni baik pada Perang Jamal (36 H) maupun Perang Shiffin (37 H). Para ulama Sunni sepakat untuk tetap berbaik sangka dan tidak menghujat mereka.

Permasalahan duniawi yang mendorong sahabat terlibat dalam konflik itu tak serta merta menggugurkan hak-hak istimewa mereka. Al-Asy'ari menegaskan kembali pernyataan ini dalam kitab Al-Ibanah fi Ushul ad-Diyanah.

Ia menjelaskan, insiden antara Ali bin Abi Thalib, az-Zubair bin al-Awwam, dan ummul mukmini 'Aisyah; atau antara Ali dan Mu'awiyah bin Abi Sufyan; itu murni dilatarbelakangi oleh ijtihad, bukan ambisi duniawi. Mereka adalah para ahli ijtihad.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement