REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Jundub bin Junadah al-Ghifari adalah seorang sahabat Nabi Muhammad SAW. Namanya lebih populer dengan sebutan Abu Dzar al-Ghifari.
Seperti tampak pada gelarnya, lelaki berkulit sawo matang ini berasal dari Kabilah Ghifar, yang menghuni daerah antara Makkah dan Madinah—dahulu bernama Yastrib. Seluruh Jazirah Arab mengenai suku ini dengan predikat yang buruk.
Pada zaman pra-Islam, orang-orang Ghifar gemar merampok kafilah dagang yang melewati lembah perbukitan. Mereka merampas harta benda atau bahkan membahayakan nyawa banyak pedagang dan musafir.
Sebelum mengenal Islam, Jundub alias Abu Dzar pun mencari penghidupan dari jalan merampok. Yang luar biasa, ia tidak segan-segan membegal sendirian para targetnya. Alih-alih ikut dalam rombongan perampok, lelaki berjanggut tebal ini dengan percaya diri membekap mangsanya dan merebut sebanyak-banyaknya harta dari korbannya.
Bagaimanapun, Abu Dzar percaya adanya Tuhan. Ia kerap merenung di kala malam, menatap luasnya langit dan ratusan bintang gemintang. Hatinya meyakini dengan sungguh-sungguh, tidak mungkin alam semesta ini ada tanpa Sang Maha Pencipta.
Karena itu, sebelum mendengar dakwah Rasulullah SAW, di termasuk yang beriman kepada Allah SWT. Tidak pernah kepalanya sujud menyembah kepada berhala.
Kisahnya dalam memeluk Islam disampaikan riwayat dari Ibnu Abbas. Abu Dzar berkata, “Sampai kabar kepada kami (Bani Ghifar) bahwa ada seorang lelaki di Makkah mengaku sebagai nabi. Aku pun menyuruh saudaraku, ‘Temuilah orang itu. Kabarkan padaku tentang dia!’ Saudaraku itu segera berangkat. Lantas, ia kembali dan menyampaikan, ‘Demi Allah, aku melihat seseorang yang mengajak kepada kebaikan dan melarang kemungkaran'.”
Berita yang dibawa saudaranya itu ternyata tidak memuaskannya. Abu Dzar pun segera bertolak menuju Makkah dengan bekal seadanya. Padahal, saat itu dia belum mengetahui dengan pasti siapa sosok yang mengaku sebagai utusan Allah itu, apatah lagi tempat tinggalnya.
Sesampainya di Makkah, ia berpapasan dengan Ali bin Abi Thalib. Sepupu Nabi Muhammad SAW itu lantas mencegatnya dan berkata, “Sepertinya kau ini orang asing?”
“Benar,” jawab Abu Dzar.
Ali lantas mengajaknya ke rumah untuk singgah dan menikmati jamuan. Abu Dzar pun menginap satu malam di kediaman Ali. Selama di sana, tidak pernah dirinya menceritakan maksud dan tujuan untuk menyambangi Makkah.
Menjelang waktu subuh tiba, ia melihat sang tuan rumah bersiap-siap ke masjid. Abu Dzar pun membuntutinya. Sepulang dari masjid, Ali bertanya kepada tamunya itu, “Apakah kau sudah memutuskan untuk tinggal di mana?”
“Belum.”
“Kalau begitu, tinggal lagi di sini bersamaku,” kata Ali menawarkan.
Melihat tamunya itu mengangguk, Ali kembali bertanya, “Sebenarnya, apa keperluanmu untuk datang ke Makkah?”