JAKARTA -- Keputusan Ombudsman yang membatalkan SK Penggantian Jabatan oleh Bupati Mimika sebelumnya Eltinus Omaleng dinilai tidak otomatis membolehkan Johannes Rettob melantik pejabat baru ataupun memutasi pejabat yang ada. Johanes saat ini menjabat sebagai Plt Bupati Mimika.
Hal ini disebabkan Plt Bupati bukanlah pejabat definitif sebagaimana diatur dalam Permendagri Nomor 74 tahun 2016. Sebab Plt Bupati harus meminta izin terlebih dahulu kepada Menteri Dalam Negeri apabila ingin melakukan mutasi jabatan.
Demikian dijelaskan Direktur Eksekutif Indonesian Public Institute (IPI) Karyono Wibowo saat dimintai tanggapan soal Plt Bupati Mimika yang langsung melakukan pergantian pejabat di lingkungan Pemda usai mendapat keputusan Ombudsman.
Karyono menambahkan meskipun tugas Ombudsman menerima pengaduan atas dugaan maladministrasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik, sehingga membatalkan SK Bupati sebelumnya, namun itu tidak cukup memberikan kekuasaan kepada Plt Bupati untuk mengangkat pejabat baru.
"Harus tetap mendapatkan restu dari Mendagri sebagai pejabat negara yang berwenang dalam memutuskan dan memberi izin kepada Plt Bupati untuk bertindak atas nama Mendagri," kata Karyono di Jakarta, Selasa (16/7/2024).
Apalagi kata Karyono menurut informasi yang dia terima dari Kapuspen Kemendagri tidak ada surat permohonan dari Kabupaten Mimika untuk mutasi Pejabat.
"Jika ini dilakukan maka sama saja memperbaiki kesalahan maladministrasi dengan kesalahan maladministrasi yang baru," tegas Karyono.
Sebelumnya, saat ditemui wartawan di kantornya pada Senin (1/7), Kapuspen Kemendagri Aang Witarsah Rofik mengatakan berdasarkan data persuratan, tidak ada permohonan pergantian pejabat dan persetujuan dari Direktorat Otonomi Daerah Papua.
“Berdasarkan informasi dari Pejabat Kepala BKD Kabupaten Mimika, tidak ada pergantian pejabat,” ucap Aang.
Sebagai informasi, berdasarkan UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, kepala daerah atau pejabat kepala daerah yang melakukan mutasi atau penggantian pejabat menjelang pemilihan kepala daerah (Pilkada), bisa dikenai sanksi pidana.
“Pejabat yang melanggar ketentuan Pasal 71 ayat (2) atau Pasal 162 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan atau paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp600.000,00 (enam ratus ribu rupiah) atau paling banyak Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah),” demikian bunyi pasal 190 Undang Undang Pilkada.
Larangan mutasi ini berlaku enam bulan, terhitung sebelum penetapan pasangan calon kepala daerah oleh KPU RI.
Pasal 71 ayat (2) Undang Undang Pilkada juga mengatur, bahwa kepala daerah dapat mengganti pejabat enam bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai akhir masa jabatannya, kecuali mendapatkan persetujuan tertulis dari menteri.
Sementara itu, di Pasal 162 ayat (3) ditegaskan bahwa kepala daerah yang ingin melakukan mutasi atau penggantian pejabat dalam kurun waktu tersebut harus memperoleh persetujuan tertulis dari menteri.
Dalam hal ini, menteri yang dimaksud adalah Menteri Dalam Negeri, sebagaimana termaktub dalam Pasal 9 ayat e Permendagri No.74 tahun 2016.
"Pelaksana Tugas Gubernur, Pelaksana Tugas Bupati, dan Pelaksana Tugas Walikota mempunyai tugas dan wewenang: melakukan pengisian dan penggantian pejabat berdasarkan Perda Perangkat Daerah setelah mendapat persetujuan tertulis dari Menteri," bunyi Permendagri tersebut.
Selain itu, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI juga sudah menegaskan kepala daerah dilarang mengganti pejabat menjelang Pilkada 2024, terhitung sejak 22 Maret 2024 lalu.
Bawaslu RI juga telah menyampaikan ketentuan itu kepada Menteri Dalam Negeri, sebagai pihak yang mengoordinasikan para kepala daerah, melalui surat bernomor 438/PM/K1/03/2024 yang ditembuskan kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI.
Sesuai jadwal, KPU RI baru akan melakukan penetapan pasangan calon kepala daerah pada 22 September 2024, sebagaimana diatur dalam Peraturan KPU Nomor 2 Tahun 2024 tentang Tahapan dan Jadwal Pilkada 2024.