REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Neraka adalah seburuk-buruknya tempat kembali. Di sanalah, Allah menempatkan makhluk-makhluk yang tidak diridhai-Nya atau yang merasakan dampak dari dosa-dosa dahulu dilakukan mereka sendiri. Allah berfirman:
هٰذَا فَوۡجٌ مُّقۡتَحِمٌ مَّعَكُمۡۚ لَا مَرۡحَبًۢـا بِهِمۡؕ اِنَّهُمۡ صَالُوا النَّارِ
قَالُوۡا بَلۡ اَنۡتُمۡ لَا مَرۡحَبًۢـا بِكُمۡؕ اَنۡتُمۡ قَدَّمۡتُمُوۡهُ لَنَاۚ فَبِئۡسَ الۡقَرَارُ
"(Dikatakan kepada mereka), 'Ini rombongan besar (pengikut-pengikutmu) yang masuk berdesak-desak bersama kamu (ke neraka).' Tidak ada ucapan selamat datang bagi mereka karena sesungguhnya mereka akan masuk neraka (kata pemimpin-pemimpin mereka).
(Para pengikut mereka menjawab), 'Sebenarnya kamulah yang (lebih pan-tas) tidak menerima ucapan selamat datang, karena kamulah yang menjerumuskan kami ke dalam azab, maka itulah seburuk-buruk tempat menetap'" (QS Shad: 59-60).
Buya Hamka ketika menafsirkan ayat-ayat di atas menjelaskan, rombongan yang berdesak-desak itu adalah mereka yang menjadi pengikut dari pimpinan atau pengajak. Saat melihat mereka digiring ke dalam neraka, pemimpinnya itu berkata, "Tidak ada ucapan selamat datang bagi mereka."
Ketika diberitahukan kepada para pemimpin itu bahwa orang-orang itu masuk neraka akibat ulahnya, mereka merasa tidak punya hubungan lagi dengan para pengikutnya itu. Situasinya kini, tidak ada lagi pemimpin dan anak buah. Kedua pihak bernasib sama: mengalami siksaan dan murka Allah.
Melihat sikap pemimpinnya, para pengikutnya menjawab, "Sebenarnya kamulah, wahai para pemimpin kami, yang tidak menerima ucapan selamat datang. Sebab, kamulah yang selama ini kami jadikan pemimpin yang menjerumuskan kami ke dalam azab neraka jahanam."
Maka, timbul situasi saling menyalahkan. Tidak seperti di dunia dahulu, kini para pengikut berani membentak pemimpin mereka.
Semua kesalahan ditumpahkan kepada para pemimpin itu. Seakan-akan, para pengikut itu berkata, "Kami ini dahulu berbuat syirik, maksiat, dan lain-lain disebabkan iming-iming kekayaan dan jabatan agar kami mengikuti yang kalian mau."
Para pengikut itu lantas berdoa:
قَالُوا رَبَّنَا مَنْ قَدَّمَ لَنَا هَٰذَا فَزِدْهُ عَذَابًا ضِعْفًا فِي النَّارِ
"Mereka berkata (lagi), 'Ya Tuhan kami, barangsiapa menjerumuskan kami ke dalam (azab) ini, maka tambahkanlah azab kepadanya dua kali lipat di dalam neraka'" (QS Shad: 61).
Pertengkaran ini membawa mereka untuk menemukan orang-orang yang dahulu di dunia dihinakan olehnya. Itulah kaum beriman dan beramal saleh.
Mereka pun merasa bersalah dan menyesal. Katanya:
اَ تَّخَذۡنٰهُمۡ سِخۡرِيًّا اَمۡ زَاغَتۡ عَنۡهُمُ الۡاَبۡصَارُ
"Dahulu kami menjadikan mereka olok-olokan, ataukah karena penglihatan kami yang tidak melihat mereka?" (QS Shad: 63).
Sayangnya, penyesalan itu muncul bukan di dunia, tetapi akhirat. Maka, tak ada lagi gunanya.
Imam Ibnu Katsir mengomentari pernyataan penyesalan ini. Menurut dia, mereka bertanya kepada diri sendiri tentang hal yang mereka anggap mustahil.
Bahkan, sempat dikiranya bahwa orang-orang Mukmin itu ada di neraka juga. Padahal, kedudukan kaum yang dahulu dihinakannya itu telah berada di tempat yang tinggi, yakni surga.
Demikianlah, orang-orang kafir dan fasik menyesal. Satu sama lain pun saling menyalahkan, sebagai penyebab mereka masuk neraka.
اِنَّ ذٰ لِكَ لَحَقٌّ تَخَاصُمُ اَهۡلِ النَّارِ
"Sungguh, yang demikian benar-benar terjadi, (yaitu) pertengkaran di antara penghuni neraka" (QS Shad: 64).