REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Ulil Abshar Abdalla atau yang akrab dipanggil Gus Ulil menyampaikan sembilan tesis terkait masalah izin tambang untuk ormas keagamaan.
Hal ini disampaikan Gus Ulil dalam diskusi bertema "Agama, Krisis Lingkungan dan HAM: Izin Tambang untuk Ormas Masalah atau Maslahah?".
"Ada sembilan posisi yang saya ajukan di sini," ujar Gus Ulil di hadapan aktivis lingkungan dan intelektual di Kantor Maarif Institute, Tebet, Jakarta Selatan, Kamis (18/7/2024).
Pertama, dia menyampaikan bahwa perdebatan soal tambang tidak bisa dilepaskan dari isu besar soal lingkungan saat ini, yaitu climate change. Menurut dia, isu besar ini bukan saja beroperasi pada level kebijakan saja, melainkan ada pengandaian-pengandaian filosofis dan ideologis dibaliknya.
"Sekaligus juga kita harus akui ada kepentingan-kepentingan politik-ekonomi yang digerakkan oleh kepetingan negata Barat yang intinya adalah mempertahankan dan melanggengkan sebuah dominasi," kata Gus Ulil.
Kedua, menurut dia, aktivisme lingkungan di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari global aktivisme, terutama dari gerakan environmentalism atau lingkunganisme yang digerakkan kekuatan global.
Ketiga, Gus Ulil mengungkapkan bahwa di balik kritik-kritik atas tambang ada ideologi yang beroperasi di baliknya, yaitu ideologi lingkunganisme. Menurut dia, ideologi ini tidak seluruhnya bisa diafirmasi dan disetujui oleh fikih atau Islam.
"(Keempat) saya jelas sebagai seorang Muslim akan memakai Islam sebagai standar filosofis, etis, dan juga standar paradigmatik untuk melihat masalah ini. Saya memberikan disclaimer, tentu saja ini Islam yang saya pahami. Tentu saja bisa dipertimbangkan oleh teman-teman yang lain," jelas dia.
Kelima, lanjut Gus Ulil, isu lingkungan secara global saat ini sudah menjadi perdebatan ideologi, mirip dengan debat antara Sunni Syiah dalam soal imamah.
"Karena kuatnya nuansa ideologis ini, debat-debat soal climate change di luar sana, terutama di Barat, dan terutama lagi di Amerika Serikat, sudah mirip dengan debat keagamaan, antara yang pro-climate change versus dengan climate change denial atau skeptic," ujar dia.
Keenam, Gus Ulil menilai, sebagian kritik terhadap kebijakan pemerintah soal tambang tidak hanya didorong oleh isu lingkungan, tapi juga didorong oleh ideologi lingkungan.
"Sebagian kritik-kritik atas kebijakan pemerintah dalam soal tambang terutama setelah terbitnya PP nomor 25 tahun 2024 yang memberikan konsensi tambang kepada ormas keagamaan di-drive, didorong, bukan sekadar oleh konsen pada isu lingkungan tetapi juga di-drive juga oleh ideologi lingkungan," kata dia.
Karena itu, Gus Ulil mengendus adanya semangat keagamaan di dalam kritik-kritik tersebut, sehingga nada-nadanya agak religius. Menurut dia, nada kritik yang disampaikan itu seperti nada kritiknya Syiah kepada Sunni atau sebaliknya.
"Jadi teman-teman yang mengkritik soal tambang ini, saya tidak menyebut secara spesifik, itu nada kritiknya itu seperti nada kritiknya orang Syiah kepada Sunni ataupun sebaliknya. Keras sekali. Gak bisa ketemu," ucap dia.
Ketujuh, Gus Ulil berpandangkan bahwa isu lingkungan ini harus didowngrade atau diturunkan levelnya dari isu ideologi kepada level yang lebih teknis yaitu fikih.
Tujuannya adalah agar masalah ini tidak menjadi pertentangan ideologi melainkan pertentangan soal pendekatan teknis biasa terhadap isu lingkungan. "Ini bagi saya poin yang penting dari seluruh tesis saya," kata dia.
Kedelapan, dengan menggunakan pendekatan fikih, debat masalah tambang ini dibatasi pada recalculus of pain. Atau, dalam bahasa fikihnya, mempertimbangkan maslahah dan mafsadat.
"Kesembilan, dengan mendegradasi percakapan soal isu lingkungan dari level ideologi ke level fikih, saya mau menyatakan poin penting ini, yaitu bahwa debat soal isu ini adalah debat dalam fikih disebut dengan khilafiyah, yaitu perbedaan masalah-masalah cabang atau furu', bukan masalah pokok atau akidah," jelas Gus Ulil.
"Dengan kata lain, ini bukan perdebatan ideologi dan akidah, melainkan perdebatan pada level kebijakan yang mungkin tidak seluruhnya teknis, tetapi cenderung kepada perdebatan tentang pilihan-pilihan policies," kata dia.
Gus Ulil menyadari bahwa sembilan tesisnya tersebut mungkin kontroversial. Namun, dia menegaskan bahwa posisinya tidak masuk di dalam golongan pro climate change atau golongan yang climate change skeptic.
"Posisi saya adalah mempertanyakan asumsi-asumsi ideologis di balik apa yang disebut dengan gerakan hijau pada umumnya," ucap dia.