REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING – Faksi-faksi Palestina termasuk kelompok politik Palestina Hamas dan Fatah menandatangani pakta rekonsiliasi intra-Palestina di ibu kota Cina, Beijing. Kesepatakan persatuan nasional itu diteken setelah perundingan tiga hari di negara tersebut.
Pembicaraan tersebut, yang telah berlangsung sejak Ahad dengan dukungan pemerintah Cina, dihadiri oleh tim-tim penting dari kedua kelompok. Diantaranya termasuk wakil ketua Fatah Mahmoud Alloul dan pemimpin politik Hamas Ismail Haniyeh.
“Kami, di Gerakan Fatah, terbuka untuk menyelesaikan dan menghilangkan semua hambatan dalam rekonsiliasi di bawah kondisi sulit yang dialami Palestina seiring dengan perang genosida di Gaza,” kata pemimpin senior Fatah Abdel Fattah Dawla dilansir Aljazirah.
Pejabat senior Hamas Musa Abu Marzuq mengiyakan, kelompok tersebut menandatangani perjanjian persatuan nasional dengan kelompok Palestina lainnya, termasuk saingannya Fatah, saat berkunjung ke Cina. “Hari ini kami menandatangani perjanjian untuk persatuan nasional dan kami mengatakan bahwa jalan untuk menyelesaikan perjalanan ini adalah persatuan nasional. Kami berkomitmen terhadap persatuan nasional dan kami menyerukannya,” kata Abu Marzuk.
Perbedaan pendapat yang tajam mengenai isu-isu antara Fatah dan Hamas telah mengakibatkan Tepi Barat dan Gaza terpecah secara politik sejak 2007. Tujuan kedua pihak pada dasarnya sama, yakni membentuk negara Palestina dengan perbatasan sebelum 1967. Namun sikap mereka terhadap Israel masih berbeda pendapat, dengan Fatah menganjurkan perundingan damai dan Hamas melakukan perlawanan bersenjata.
Menyusul genosida oleh Israel belakangan, faksi-faksi Palestina bertemu di Beijing, Cina untuk membahas upaya mengakhiri perpecahan nasional dan meluncurkan proses rekonsiliasi antar partai politik besar. Pertemuan tersebut dihadiri oleh 14 faksi Palestina. Diantaranya dari kelompok nasionalis termasuk Fatah; kelompok Islam seperti Hamas dan Jihad Islam Palestina; serta kelompok sosialis seperti Front Populer untuk Pembebasan Palestina dan Front Demokratik untuk Pembebasan Palestina.
Almayadeen memperoleh salinan Deklarasi Beijing yang di dalamnya para peserta berjanji untuk "mengakhiri perpecahan nasional Palestina," dan untuk "menyatukan upaya nasional untuk menghadapi agresi (Israel) dan menghentikan genosida." Menurut dokumen yang diperoleh Almayadeen, faksi-faksi Palestina akan memantau implementasi klausul perjanjian tersebut “dengan bantuan Mesir, Aljazair, Cina, dan Rusia.”
Deklarasi tersebut juga menekankan “komitmen terhadap pembentukan negara Palestina merdeka dengan al-Quds sebagai ibu kotanya,” yang akan dilaksanakan berdasarkan resolusi internasional di PBB nomor 181 dan 2334.
Pernyataan ini juga menggarisbawahi hak rakyat Palestina untuk menolak penjajahan dan mengakhirinya sesuai dengan hukum internasional, Piagam PBB, dan hak semua orang untuk menentukan nasib sendiri.
Rinciannya, para peserta sepakat untuk membentuk pemerintahan persatuan nasional sementara setelah mendapat persetujuan faksi-faksi Palestina dan Presiden Otoritas Palestina. Pemerintahan ini akan menjalankan otoritasnya “atas seluruh wilayah Palestina”, termasuk Tepi Barat, Yerusalem, dan Jalur Gaza, mengakhiri perpecahan selama bertahun-tahun.
Mereka yang hadir pada pertemuan tingkat tinggi di Beijing juga sepakat untuk mengaktifkan Kerangka Kerja Kepemimpinan Sementara Terpadu dan memastikan diadakannya kongres reguler. Para pihak juga akan berupaya untuk menghilangkan “pengepungan brutal terhadap rakyat [Palestina] di Gaza dan Tepi Barat serta memberikan bantuan kemanusiaan dan medis tanpa batasan.”
Mereka juga mengatakan bahwa mereka akan “menghadapi konspirasi pendudukan (Israel) dan pelanggaran terus menerus terhadap Masjid al-Aqsa, dan menolak segala bentuk kerusakan terhadap Masjid al-Quds dan kota al-Quds serta tempat-tempat sucinya.
Deklarasi tersebut juga menyambut baik “pendapat Mahkamah Internasional yang menegaskan tidak sahnya kehadiran, penjajahan Israel, dan pemukiman ilegal.”
Cina adalah salah satu negara pertama yang menyerukan gencatan senjata komprehensif dan abadi di Gaza untuk mencegah krisis kemanusiaan, menyerukan “Israel” untuk mencabut blokade yang diberlakukan di Jalur Gaza untuk memastikan masuknya bantuan yang sangat dibutuhkan, menghormati hukum kemanusiaan internasional, dan berhenti menargetkan semua objek sipil dan pekerja bantuan di Gaza.
Negara ini juga telah melakukan upaya besar untuk menjadi tuan rumah perundingan internal Palestina dan memastikan bahwa faksi-faksi Palestina mencapai konsensus nasional dan persatuan di antara mereka sendiri, di bawah bentuk pemerintahan yang langgeng.
Kesatuan Palestina terkoyak saat Amerika Serikat dan Israel menentang kemenangan demokratis Hamas dalam pemilu Palestina pada 2006 silam. Saat itu, mereka memanas-manasi Fatah melancarkan perlawanan yang berujung perang sipil di Gaza. Perang tersebut berujung pemerintahan terpisah di Palestina. Hamas menguasai Gaza sepenuhnya dibawah blokade Israel dan Mesir, sementara Otoritas Palestina yang diujungtombaki Fatah menjalankan administrasi sipil di Tepi Barat di bawah pendudukan militer Israel.