REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menemukan adanya cacat prosedur hukum. Bahkan, terjadi proses penganiayaan yang dilakukan penyidik kepada para tersangka selama proses penyidikan kasus kematian Vina dan Eky di Kota Cirebon, Jawa Barat (Jabar) pada 2016.
Ketua LPSK Brigjen (Purn) Achmadi mengatakan, temuan lembaganya itu setelah melakukan telaah dan interview langsung terhadap 15 nama yang mengajukan suaka dan perlindungan kepada LPSK. Adapun LPSK tidak menjelaskan secara detail siapa saja 15 orang tersebut.
"Berdasarkan penelaahan yang telah dilakukan (oleh LPSK), terdapat temuan-temuan kejanggalan. (Seperti) adanya pelanggaran ketentuan KUHAP (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana) dalam proses penyidikan, dan adanya indikasi kuat, atas dugaan penganiyaan dan penyiksaan atau perlakuan yang tidak seharusnya pada 2016," kata Achmadi di kantor LPSK, Jakarta Timur, Selasa (23/7/2024).
Menurut Achmadi, LPSK juga menemukan kuat informasi tumpang tindih atas kesaksian sejumlah pihak yang terlibat, yang memberikan informasi terkait kasus kematian sepasang kekasih sewindu yang lalu itu. "Terdapat inkonsistensi atau ketidaksesuaian antara keterangan beberapa terdakwa berkaitan dengan peran serta para pelaku," ujar Achmadi.
Dia mengatakan, dua temuan kejanggalan utama dalam pengusutan kasus kematian Vina dan Eky tersebut setelah LPSK melalui menelaah 15 pengajuan permohonan perlindungan dari pihak yang terkait kasus kematian Vina. Dari telaah dan wawancara langsung dari 15 pengaju suaka dan perlindungan tersebut, kata Achmadi, LPSK menerima permohonan terhadap Saka Tatal (ST), mantan terpidana kasus kematian Vina dan Eky.
LPSK dalam putusan majelis internal juga menerima permohonan perlindungan terhadap lima orang anggota keluarga Vina. Di sisi lain, LPSK menolak permohonan yang diajukan oleh sembilan nama lainnya.
Achmadi menyampaikan, majelis internalnya sudah bersidang dua kali pada Rabu (17/7/2024) dan Senin (22/7/2024). Dari 15 pengajuan permohonan tersebut, LPSK menyetujui memberikan perlindungan terhadap WO, MR, SA, SK, dan SL. "Menerima permohonan dari keluarga V (Vina), yakni WO, MR, SA, SK, dan SL dengan mendapatkan program bantuan rehabilitasi psikologis yang dikerjasamakan dengan DP3AKB Provinsi Jawa Barat melalui UPTD PPA Provinsi Jawa Barat," kata Achmadi.
Persetujuan perlindungan serupa, kata Achmadi, juga diputuskan untuk Saka Tatal. "Terkait permohonan ST, LPSK memutuskan untuk menerima permohonan pemenuhan hak prosedural, dan hak rehabilitasi psikologis," kata Achmad.
Saka Tatal adalah satu dari delapan yang dipidana dalam kasus kematian Vina dan Eky. Tujuh yang dipidana tersebut, saat ini masih mendekam di sel penjara untuk menjalani hukuman seumur hidup lantaran dinyatakan terbukti melakukan pembunuhan. Sedangkan Saka Tatal, satu terpidana lainnya sudah bebas setelah menjalani hukuman delapan tahun penjara. Hal itu karena statusnya saat menjadi tersangka masih di bawah umur.
Selanjutnya, LPSK dalam putusannya juga menolak permohonan perlindungan terhadap sembilan pemohon. Tujuh orang yang ditolak permohonan perlindungannya adalah AR, SU, PS, MK, RU, TM, dan FR. Achmadi mengatakan, penolakan pemberian perlindungan terhadap tujuh orang tersebut lantaran dinilai tak memenuhi syarat dalam Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang LPSK.
"Para pemohon dalam memberikan keterangan dan informasi tidak konsisten, berubah-ubah, bersifat normatif, dan cenderung menutup-nutupi informasi yang berkaitan dengan peristiwa (kematian Vina dan Eky)," kata Achmad.
Adapun dua nama lain yang ditolak permohonan perlindungannya oleh LPSK, adalah LA dan SD. Achmadi menjelaskan, penolakan terhadap dua nama tersebut, lantaran dinilai belum adanya proses hukum terhadap keduanya. "Menolak permohonan LA dan SD dengan pertimbangan ketiadaan proses hukum saat ini, karena permohonan praperadilan atas Pegi Setiawan telah dinyatakan diterima oleh PN Bandung," ujar Achmad.
Permohonan perlindungan...