REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ibnu Rajab al-Hanbali dalam kitab Adz-Dzail 'alaa Thabaqat al-Hanabilah menjelaskan profil sang sufi besar, Syekh Abdul Qadir al-Jailani. Ulama yang namanya tercatat dengan tinta emas sejarah itu bernama lengkap Muhyiddin Abu Muhammad Abdul Qadir bin Abi Shalih Abdullah bin Jankiy.
Nasabnya sampai pada Nabi Muhammad SAW, baik melalui jalur ayah maupun ibundanya. Sebab, ia masih keturunan Husain bin Ali bin Abi Thalib. Keajaiban menyertai masa kecil Syekh Abdul Qadir al-Jailani.
Dikisahkan, ibunya sesungguhnya mendekati masa menopause jelang kelahiran putranya itu. Saat masih bayi, anak lelaki itu bahkan ikut berpuasa Ramadhan. “Anakku tidak mau menyusu sejak pagi hingga waktu maghrib tiba tatkala bulan puasa,” kata sang ibunda, sebagaimana dikutip Ibnu Rajab dalam Adz-Dzail 'alaa Thabaqat al-Hanabilah.
Syekh Abdul Qadir al-Jailani juga pernah menuturkan kisah masa kecilnya kepada para murid. “Setiap kali terlintas keinginan untuk bermain bersama teman-temanku, aku selalu mendengar suara berbisik, 'Jangan bermain, tetapi datanglah kepadaku wahai hamba Allah yang dirahmati.' Karena takut, aku segera berlari ke dalam pelukan Ibu,” katanya mengenang.
Abdul Qadir menghabiskan masa anak-anak di kampung halamannya. Dengan kecerdasannya, atas izin Allah SWT, dirinya dapat menghafal Alquran 30 juz di bawah bimbingan kedua orang tua dan kakeknya.
Tatkala masih di Gilan, dia juga memperbagus bacaan Alquran (tahsin) dengan belajar pada Abul Wafa Ali bin 'Uqail al-Hambali serta Abul Khattab Mahfuzh Al Kalwadzani.
Saat dirinya masih remaja, Abdul Qadir hijrah dari Makkah ke Baghdad. Di kota berjuluk "Seribu Satu Malam" itu, ia ingin menuntut ilmu-ilmu agama. Sebelum ia berangkat, ibundanya memberikan bekal uang sebanyak 40 dinar kepadanya.
Abdul Qadir muda ikut dalam rombongan kafilah yang menuju ke Irak. Sesampainya di Hamadan pada malam gelap gulita, rombongan tersebut tiba-tiba dicegat sekelompok perampok.
Seorang perampok menghunuskan pedang ke leher Abdul Qadir muda. "Apa yang kamu bawa!?" katanya.
"Uang 40 dinar," jawabnya.
Mendengar itu, si perampok mengira Abdul Qadir sedang meracau karena ketakutan. Karena itu, ia meninggalkan pemuda saleh tersebut.
Namun, datang lagi seorang di antara mereka dan menggertaknya, "Apa yang kamu bawa!?"
Abdul Qadir pun berkata lagi, "Uang 40 dinar."
Karena tak percaya, perampok itu pun membawa pemuda tersebut kepada pemimpinnya.Bos para perampok ini juga mengajukan pertanyaan yang sama. Abdul Qadir menjawab apa adanya.
"Apa yang membuatmu selalu berkata jujur?'
"Ibuku memerintahkanku untuk selalu berkata jujur, dan aku takut akan mengkhianatinya," jawab Abdul Qadir dengan tenang.
Tiba-tiba, pemimpin para perampok itu gemetar ketakutan. Ia lalu berteriak dan menyobek bajunya.
"Kamu takut jika mengkhianati janji ibumu, sedangkan aku tidak takut telah mengkhianati Allah!" seru dia.
Ia lalu memerintahkan para pengikutnya untuk mengembalikan semua yang telah diambil dari rombongan Abdul Qadir.
"Sungguh, kami bertobat kepada Allah lewat dirimu," kata dia kepada Abdul Qadir, "Sekarang engkau adalah pemimpin kami dalam bertobat."