REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING -- Empat belas pemimpin Palestina berbaris untuk berfoto di Beijing pada Selasa. Selepas berfoto, satu persatu tokoh Palestina itu berjabat tangan dengan Menteri Luar Negeri Tiongkok Wang Yi.
Pembicaraan persatuan Palestina pada Selasa di Beijing, merupakan kesempatan bagi China untuk memberikan pandangan berbeda kepada Barat dan sekutunya Israel terhadap masa depan Palestina dan Timur Tengah.
Sudah menjadi rahasia umum, Amerika Serikat menjadi pendukung utama Zionis Israel. Para pemimpin AS membela mati-matian Israel meskipun Tel Aviv telah membombardir warga sipil di Gaza. Pada persaingan di Pilpres AS pun banyak pihak berseloroh bahwa para kandidat capres berusaha menjadi sosok Zionis terbaik.
“Tujuan utama Tiongkok adalah untuk mendapatkan persetujuan dan pengakuan di antara negara-negara regional mengenai peningkatan statusnya sebagai negara yang bertanggung jawab dengan peran moral yang lebih unggul dibandingkan dengan AS,” Razan Shawamreh, pakar kebijakan luar negeri Tiongkok di wilayah Palestina, mengatakan kepada Middle East Eye .
Hamas dan Fatah, dua faksi utama Palestina yang bersaing, telah berupaya melakukan rekonsiliasi beberapa kali untuk mengakhiri perselisihan yang telah berlangsung selama 17 tahun, termasuk perundingan yang dimulai di Tiongkok pada April.
Meskipun upaya-upaya tersebut hampir tidak mencapai kemajuan di masa lalu, keterlibatan Beijing kini menawarkan insentif unik untuk melepaskan diri dari pengaruh Washington, termasuk bagi Presiden Palestina Mahmoud Abbas.
“[Abbas] ingin menunjukkan kepada Amerika dan juga Arab bahwa ‘Saya punya pilihan lain’,” Hani al-Masri, direktur jenderal Masarat, Pusat Penelitian Kebijakan dan Studi Strategis Palestina, mengatakan kepada MEE.
“Dia (Abbas) prihatin dengan terpilihnya Trump,” kata Masri.
Mereka juga khawatir dengan pemungutan suara baru-baru ini di parlemen Israel yang secara mayoritas menyetujui rancangan undang-undang baru untukmenolak pembentukan negara Palestina.
Menurut Masri, akan ada kekhawatiran lain yang ada di benak Abbas. Di Tepi Barat yang diduduki, terdapat ketidakpuasan yang meluas terhadap Otoritas Palestina (PA). Masyarakat tidak menerima pendapatan pajak dari Israel. Kondisi itu membuat Otoritas Palestina kesulitan membayar gaji pegawainya.
Ada juga rumor, kata Masri, bahwa Mohammed Dahlan – seorang politisi Palestina di pengasingan yang sekarang menjadi penasihat presiden UEA – mungkin akan diterjunkan kembali ke Palestina atas perintah negara-negara Arab yang bersimpati kepada Washington.