REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Imam al-Ghazali dalam kitab al-Tibr al-Masbuk fi Nashihati al-Muluk menyampaikan sepuluh prinsip dan etika pemimpin. Melalui kitab tersebut, ulama bergelar Hujjatul Islam Zainuddin al-Thusi ini memberi nasihat kepada para pemimpin.
Pertama, dianjurkan bagi para pemimpin dan elit politik untuk mendalami dan menghayati betapa besarnya tanggung jawab kepemimpinan.
Prinsip pertama dari itu adalah untuk mula-mula mengenali nilai kekuasaan dan memahami betapa bahayanya kekuasaan. Bukti atas besarnya nilai kekuasaan adalah apa yang diriwayatkan dari Rasulullah SAW bahwa beliau pernah bersabda, "Menegakkan keadilan oleh seorang penguasa selama satu hari lebih dicintai oleh Allah daripada ibadah selama tujuh puluh tahun.”
Nabi Muhammad SAW bersabda, “Tidak ada seorang pemimpin atas sepuluh orang kecuali dia akan datang pada hari kiamat dengan kedua tangannya terikat pada lehernya. Jika amalannya baik, maka akan dilepaskan dari ikatan tersebut, dan jika amalannya buruk, maka akan ditambahkan kepadanya ikatan yang lain.” َ
Kedua, dianjurkan bagi para pemimpin dan elit politik untuk senantiasa dekat dengan para ulama dan mendengarkan nasihat mereka.
“Prinsip kedua adalah untuk selalu merindukan untuk bertemu dengan para ulama, bersemangat untuk mendengarkan nasihat mereka, dan berhati-hati terhadap ulama yang jahat yang berambisi terhadap dunia. Mereka akan memuji anda, memikat anda, dan mencari kerelaan anda dengan mengharapkan keuntungan dari kejahatan dan tipu daya yang mereka miliki.”
Ketiga, dianjurkan bagi para pemimpin dan elit politik untuk tidak terpengaruh oleh kawan sehingga ragu untuk memberantas kezaliman.
“Prinsip ketiga dari itu, anda tidak boleh seenaknya menarik diri dari kezaliman, tetapi anda harus mempengaruhi bawahan, rekan-rekan, karyawan, dan wakil-wakil anda untuk tidak merestui kezaliman. Karena anda akan dimintai pertanggungjawaban atas kezaliman mereka sebagaimana anda dimintai pertanggungjawaban atas kezaliman diri anda sendiri.”
Keempat, dianjurkan bagi para pemimpin dan elit politik untuk rendah hati dan memberi maaf.
“Prinsip keempat, pemimpin umumnya cenderung sombong, dan sombong menyebabkan kemarahan yang menyerukan untuk balas dendam. Kemarahan adalah setan pikiran, musuh, dan bencana. Hal ini telah kami sebutkan dalam bab “marah” sebagai salah satu dari empat penyebab kebinasaan."
"Jika kemarahan sering terjadi, maka sebaiknya anda condong kepada belas kasih, memaafkan, dan terbiasa untuk bermurah hati, dan menghindari kekerasan. Jika itu menjadi kebiasaan bagi anda, anda akan menyerupai para nabi dan wali. Namun, jika membiarkan kemarahan menjadi kebiasaan, anda akan menyerupai binatang buas.”
Kelima, dianjurkan bagi para pemimpin dan elit politik untuk meninjau apa yang cocok untuk rakyatnya dan apa yang tidak.
"Prinsip kelima, setiap peristiwa yang sampai kepada anda dan dipresentasikan kepada anda, anda harus meninjaunya. Anda adalah bagian dari umat, dan pemimpin selain anda adalah sebagian dari umat juga. Segala sesuatu yang tidak anda sukai untuk diri sendiri, janganlah anda sukai untuk orang lain dari kalangan umat Islam."
"Jika anda merestui untuk mereka apa yang tidak anda sukai untuk diri sendiri, maka anda telah mengkhianati umat anda dan mengkhianati kepemimpinan anda.”
Keenam, dianjurkan bagi para pemimpin dan elit politik untuk memberikan perhatian lebih kepada orang-orang lemah.
“Prinsip keenam, janganlah meremehkan mengantrinya tukang minta-minta yang berdiri di pintu anda, dan waspadalah terhadap bahaya ini. Jika ada seorang Muslim yang membutuhkan anda, janganlah sibuk dengan ibadah sunnah sehingga anda mengabaikan kebutuhannya. Karena memenuhi kebutuhan orang-orang Muslim lebih utama daripada melakukan ibadah sunnah.”
Ketujuh, dianjurkan bagi para pemimpin dan elit politik untuk bersikap sederhana dan merasa cukup.
"Prinsip ketujuh, janganlah biasakan diri anda tergoda oleh kesenangan, seperti mengenakan pakaian mewah dan makan makanan lezat. Sebaliknya, berlakulah sederhana dan merasa cukup dalam segala hal, karena tidak ada keadilan tanpa qana’ah.”
Kedelapan, dianjurkan bagi para pemimpin dan elit politik untuk bersikap lembah lembut dan tidak bergaya tangan besi.
"Prinsip kedelapan, ketika anda dapat melakukan sesuatu dengan lemah santun dan kelembutan, janganlah melakukannya dengan kekerasan."
Rasulullah SAW bersabda, “Setiap pemimpin yang tidak bersikap lembut terhadap rakyatnya, Allah tidak akan bersikap lembut kepadanya pada hari kiamat.”
Kesembilan, dianjurkan bagi para pemimpin dan elit politik untuk memuaskan hati rakyatnya dengan tetap mematuhi rambu-rambu agama.
“Prinsip kesembilan, berupayalah agar rakyat anda puas dengan anda, dengan tetap mematuhi rambu syariat."
Nabi Muhammad SAW bersabda kepada para sahabatnya, “Seorang pemimpin tidak boleh terpedaya oleh siapapun yang mendekatinya dan memujiinya. Janganlah ia beranggapan bahwa rakyatnya puas dengannya, karena orang yang memujiinya hanya melakukan itu karena takut padanya. Sebaiknya, aturlah penasehat yang dapat menanyakan kepada rakyat tentang keadaan aslinya agar dia mengetahui keburukannya dari ucapan orang-orang.”
Kesepuluh, dianjurkan bagi para pemimpin dan elit politik untuk tidak mengejar simpati orang dengan cara melanggar syariat.
“Prinsip kesepuluh, janganlah mencari kerelaan seseorang dengan melanggar syariat. Karena bagi orang yang marah kepada kita karena pelanggaran syariat yang ia buat, kemarahannya tidak dihitung masalah.”
Demikian nasihat Imam Al Ghazali ulama bergelar Hujjatul Islam Zainuddin al-Thusi untuk para pemimpin, dikutip dari buku Konsensus Ulama Fatwa Indonesia yang diterbitkan Sekretariat Komisi Fatwa MUI, 2024.