REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dalam perjalanan hidupnya, KH Ibrahim Hosen (1917-2001) pernah memimpin Komisi Fatwa MUI selama dua dasawarsa, yani tahun 1981-2000. Dalam berfatwa, ia selalu berpegang teguh pada dasar keilmuan. Di samping itu, dirinya pun memiliki kepekaan terhadap situasi kontekstual sehingga menyajikan alternatif-alternatif. Terobosan pemikirannya kadang kala menuai polemik.
Kiai Ibrahim Hosen pernah berpesan, “Kebenaran ilmiah harus ditegakkan.” Demikian menurut seorang putranya, Prof Nadirsyah Hosen. Cendekiawan yang akrab disapa Gus Nadir itu menceritakan, kalimat tersebut menunjukkan keteguhan hati ayahnya. Walaupun diterpa cemooh dari orang-orang yang tidak suka pada pemikirannya, sang kiai tetap tidak gentar.
Rais syuriah Pengurus Cabang Istimewa (PCI) Nahdlatul Ulama Australia dan Selandia Baru itu mengingat, ayahnya sering berpesan tentang karakteristik fikih. Menurutnya, karakter fikih adalah dinamis dan fleksibel serta menawarkan banyak pilihan dalam mewujudkan tujuan dasarnya, maqashid asy-syari’ah.
“Pendapat atau fatwa beliau (Kiai Ibrahim) yang kemudian dianggap melawan arus itu sesungguhnya justru memberi pencerahan baru bagi setiap yang mempelajari fatwa-fatwanya,” jelas Gus Nadir, seperti dikutip Republika dari laman The Ibrahim Hosen Institute.
Sebagai contoh, sebuah fatwa sang kiai yang dianggap kontroversial adalah pembolehan Keluarga Berencana (KB) pada 1967. Padahal, arus keinginan publik saat itu lebih condong pada pengharamannya. Selain itu, Kiai Ibrahim juga menjadi ulama pertama di Tanah Air yang memperbolehkan wanita menjadi seorang hakim.
Pada era Orde Baru, fenomena Sumbangan Dana Sosial Berhadiah (SDSB) sempat menuai keresahan di tengah umat. Kiai Ibrahim lantas mengumumkan fatwa bahwa SDSB bukanlah judi (maisir). Dalam pandangannya, tidak setiap undian adalah maisir. Menurutnya, dalam jual beli atau sewa-menyewa pun mengandung unsur untung-untungan atau ketidakpastian. Keduanya tidak dikategorikan haram.
Sejalan dengan Mazhab Syafii, illat hukum keharaman maisir adalah taruhan dan berhadapan. Jika keduanya tidak ada, berarti SDSB tidak termasuk judi. Banyak kalangan awam yang merundung Kiai Ibrahim saat itu akibat fatwanya tersebut. Kemudian, ia menulis buku, Ma Huwa al-Maisir: Apakah Judi Itu (1987) untuk semakin menjelaskan dasar pemikirannya kepada publik.
Dalam buku tersebut, ia memaparkan bahwa hikmah dari illat itu adalah karena taruhan yang berhadap- hadapan dapat menimbulkan permusuhan dan membuat orang lupa kepada Allah. Maisir bukan haram karena sifat dasarnya (li dzatihi), melainkan li sadz dzariah. Itu sebagai tindakan preventif untuk mencegah kerusakan.
SDSB bukanlah maisir karena tidak ada unsur berhadap-hadapan dan status hukumnya adalah mubah. Akan tetapi, lanjutnya, bila dalam praktiknya SDSB menimbulkan ekses negatif, maka berlaku kaidah “mencegah kerusakan harus didahulukan.” Jadi, perbuatan mubah bisa berubah haram kalau berpotensi memunculkan kerusakan.
Menurut Kiai Ibrahim, yang berwenang menetapkan SDSB saat itu lebih banyak dampak buruknya ataukah tidak adalah pemerintah. Diketahui, pemerintah menyatakan SDSB berdampak buruk. Maka, Kiai Ibrahim pada akhirnya berpendapat, SDSB menjadi haram. Namun, hal itu tidak disebabkan statusnya judi, tetapi potensi menimbulkan kerusakan, berdasarkan penilaian pihak yang berwenang.
Mengenai keteguhannya dalam berfatwa dengan ilmu, KH Ibrahim menuai banyak respek. Ketua umum PBNU 1984-1999 KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur pernah menyebut sang kiai sebagai pembaharu hukum Islam di Indonesia. Kealiman dan keberanian cendekiawan tersebut dalam mengeluarkan fatwa telah melegenda.