KINGDOMSRIWIJAYA, Palembang – Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisip) Universitas Islam Negeri (UIN) Raden Fatah menggelar seminar nasional bertajuk “Menakar Politik Dinasti dan Politik Aji Mumpung di Pemilukada 2024”.
Seminar yang berlangsung Kamis, 25 Juli 2024 dibuka Wakil Dekan I Yenrizal dengan menghadirkan nara sumber Suwandi Sumartias Guru Besar Komunikasi Politik dari Universitas Padjadjaran (Unpad), pakar hukum Feri Amsari dari Fakultas Hukum Universitas Andalas (Unand), Izommiddin Guru Besar dan Dekan Fisip UIN Raden Fatah dari Ahmad Naafi dari Bawaslu Sumsel.
Suwandi yang menyampaikan paparannya tentang “Demokrasi Rasa Dinasti (Antara Prospek dan Tantangan)” menjelaskan suhu politik Indonesia pasca pemilihan presiden menuju pemilihan kepala daerah (Pilakda) serentak 2024, benar-benar sedang mengalami peningkatan yang luar biasa, sensitif dan emosional. “Demokrasi ibarat panggung sandiwara dalam labiran yang gelap gulita”. Katanya.
Menurutnya, yang tengah terjadi demokrasi rasa dinasti. “Demokrasi hanya wacana di atas kertas yang penuh dengan retorika yang berbusa-busa. Tak lebih sekedar jargon, yang penuh dengan kebohongan politik. Pendulum demokrasi semakin bias makna dan ambigu, dan ironisnya yang lebih mengemuka adalah model politik dinasti”, kata dosen Fakultas Ilmu Komunikasi (Fikom) Unpad.
Suwandi menegaskan, “Politik dinasti yang sangat masif, pastinya telah ‘mematikan’ meritokrasi secara gamblang dan nyata. Di sisi lain meritokrasi merupakan sistem sosial yang memengaruhi kemajuan dalam masyarakat berdasarkan kemampuan dan prestasi individu dari pada basis keluarga, kekayaan atau latar belakang sosial”.
Menurutnya, pendidikan politik dalam ranah dinasti politik, terutama yang dilakukan oleh elite politik dan atau partai politik mengalami stagnasi dan semakin menguatnya politik kekerabatan (kindship).
“Politik kekerabatan atau dinasti politik akan membentuk nepotisme, yang secara tegas dan jelas melanggar UU No.28 Tahun 1999. Dan pada gilirannya demokrasi yang mengusung meritokrasi jauh dari harapan dan hanya berwujud pesta pengumpulan suara yang amat transaksional”, kata Suwandi.
Demokrasi Persaingan
Dosen Fikom Unpad yang juga Dewan Pakar ISKI (Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia) menyatakan, “Dinasti politik tidak hanya ‘mrmatikan’ demokrassi, juga menjadi lahan subur untuk tumbuhnya pelanggengan regenersi politik di lingkungan elite politik yang sangat terbatas, dan sangat potensial terjadi KKN yang berlanjutan dan laten”.
“Sampai kapan, politik dinasti menjadi model pengelolaan negara?” ujar Suwandi. Jawabannya, akan sangat tergantung kepedulian dan kesadaran warga dan tokoh masyarakat yang masih sangat peduli dengan masa depan negara dan demokrasi itu sendiri”.
Sementara itu pembicara Feri Amsari yang dikenal luas dengan film dokumenter “Dirty Vote” mengingatkan bahwa problematika yang terjadi pemilihan presiden lalu akan terjadi pada Pilkada serentak 2024.
Menurutnya, politik dinasti melahirkan mereka yang tidak punya kapasitas akan tampil sebagai pemimpin dengan dukungan politik uang, mahar politik dengan membeli semua partai politik. Berbeda dengan pilpres, pada Pilkada calon bisa membeli semua partai politik lalu berhadapan dengan kotak kosong. “Demokrasi itu sejatinya harus membangun persaingan secara fair”.
Pembicara lainnya Ahmad Naafi menyatakan bahwa politik dinasti di Indonesia sudah lama berakar secara tradisional yang berupa sistem patrimonial, yang mengutamakan regenarsi politik berdasarkan ikatan genealogis, ketimbang merit system, dalam menimbang prestasi.
“Dulu pewarisan ditunjuk langsung, sekarang lewat jalur politik prosedural. Anak atau keluarga pada elite politik masuk institusi yang disiapkan, yaitu partai politik. Oleh karena itu, patrimonialistik ini terselubung oleh jalur prosedural”, kata Naafi yang sebelumnya menjabat anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Sumsel. (maspril aries)