REPUBLIKA.CO.ID, Tradisi Arab selalu memberi nama anak-anaknya dengan satu suku kata saja. Misalkan, Muhammad, Ibrahim, Fatimah, Aisyah, dan sebagainya. Jika ada nama yang murakkab (dua kata) atau lebih, kata kedua adalah nama orang tuanya. Sedangkan, kata yang ketiga adalah nama kakeknya. Misalkan, Muhammad Husein Ya'qub. Berarti namanya adalah Muhammad, sedangkan Hasan adalah nama bapaknya dan Ya'qub adalah kakeknya.
Tradisi seperti ini menjadi rancu jika dibawakan pada pola penamaan di Indonesia. Biasanya, nama-nama orang Indonesia terdiri dari dua, tiga, bahkan empat suku kata. Misalkan, Syahrul Gunawan, Oki Setiana Dewi, dan sebagainya. Syahrul Gunawan adalah satu orang. Gunawan bukanlah nama bapak dari si pemilik nama.
Tradisi penamaan bangsa Arab tak hanya sebatas nama, tapi juga erat sekali kaitannya dengan nasab. Dalam nama orang Arab, nama ayah dan kakek langsung melekat pada nama anak. Tradisi ini berdasar dari syariat Islam yang sangat serius memperhatikan persoalan nasab. Termasuk dalam dosa besar jika mengklaim seseorang yang bukan dari garis keturunannya diakui sebagai nasabnya. Alasan ini juga yang menjadikan Islam membenci perzinaan karena akan mengaburkan nasab.
Sebagaimana hadis Nabi SAW menyebutkan, "Barang siapa yang mengaku sebagai anak kepada selain bapaknya atau menisbahkan dirinya kepada yang bukan walinya, maka baginya laknat Allah SWT, malaikat, dan segenap manusia. Pada hari kiamat nanti, Allah tidak akan menerima darinya ibadah yang wajib ataupun yang sunah." (HR Muslim dan Tirmidzi).
Jadi, tidak boleh tidak, kata kedua dalam nama orang Arab harus nama ayahnya. Mencantumkan nama selain nama ayah pada kata kedua dari nama tersebut dianggap tabu. Mereka menyimpulkan, berarti si pemilik nama tidak jelas nasabnya atau tak tahu siapa ayahnya. Kesimpulan ini juga bermuara pada ketegasan syariat dalam urusan nasab.
Masuknya budaya Barat soal penamaan yang banyak diadopsi masyarakat Tanah Air menampik tradisi Arab yang bersumber dari syariat ini. Di Barat, nama belakang istri diambil dari nama suami, seperti Michelle Obama, Hillary Clinton, dan sebagainya. Inilah yang ditiru masyarakat Indoensia. Jelas model penamaan gaya Barat menjadi sangat tabu bagi tradisi Arab. Apalagi jika dikaitkan dengan urusan nasab. Bagaimanakah syariat menyelesaikan hal ini?