Jumat 26 Jul 2024 14:16 WIB

Muhammadiyah 'Terbelah' dan Suhu Politik Era 1960-an

'Perseteruan' Buya Hamka dan Farid Ma'ruf mewarnai sejarah Muhammadiyah.

Red: Hasanul Rizqa
Buya Hamka. seorang tokoh besar dalam sejarah Muhammadiyah.
Foto: Dok. Muhammadiyah
Buya Hamka. seorang tokoh besar dalam sejarah Muhammadiyah.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sejak medio 1950-an, kekuasaan politik di Indonesia kian terpusat pada sosok Presiden Sukarno. Pada 1 Desember 1956, Mohammad Hatta meletakkan jabatan wakil presiden. Mundurnya negarawan berdarah Minang itu disebabkan adanya perbedaan yang prinsipil di antara kedua Dwi-Tunggal tersebut.

Bung Hatta tidak sependapat dengan Bung Karno, yang meyakini bahwa revolusi belum selesai. Retorika tersebut justru menimbulkan kesan mengesampingkan pembangunan. Dalam hemat Hatta, revolusi sudah selesai dengan tercapainya kemerdekaan RI.

Baca Juga

Pendapat lain mengatakan, Hatta mundur karena merasa, dalam sistem kabinet parlementer, presiden hanya bertugas sebagai kepala negara. Maka, fungsi wapres otomatis tidak diperlukan lagi.

Mundurnya Hatta membuat "girang" para politikus komunis. Dalam Pemilu 1955, Partai Komunis Indonesia (PKI) menduduki posisi keempat terbesar. Di urutan pertama hingga ketiga, ada PNI, Masyumi, dan Partai Nahdlatul Ulama.

Lebih melonjak kegirangan lagi PKI tatkala Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) pecah pada Februari 1958. Munculnya PRRI dilatari ketidakpuasan tokoh-tokoh di daerah. Mereka menganggap, pemerintah pusat telah menganaktirikan daerah dalam pembangunan nasional.

Di samping itu, Bung Karno dinilai terlalu dekat dengan PKI, yang pada 1948 dahulu justru memberontak ketika Indonesia sedang digempur Belanda.

Dalam struktur PRRI, terdapat tokoh-tokoh penting Partai Masyumi. Memanfaatkan kesempatan, PKI lalu membujuk Bung Karno agar hak hidup Masyumi dicabut sekali dan untuk selama-lamanya. Pada 17 Agustus 1960, Presiden mengeluarkan Keppres No 200/1960. Isinya memerintahkan Masyumi untuk bubar.

Dalih utamanya, beberapa pemimpin partai berlogo bulan sabit-bintang itu terlibat dalam Peristiwa PRRI. Sementara, pimpinan Masyumi yang baru di bawah Prawoto Mangkusasmito tidak mengutuk mereka yang terlibat itu.

Sebagai partai yang banyak diisi kaum modernis, tentunya tidak ada pilihan bagi kendaraan politik ini selain taat pada regulasi—sekalipun beleid dibuat oleh pemerintah yang semena-mena, tetapi sah. Sejak 13 September 1960, Pimpinan Pusat Masyumi menyatakan bahwa Partai Masyumi bubar.

Kronologi Muhammadiyah ‘pecah’ ... 

photo
Presiden Sukarno pidato di Amuntai tahun 1953. - (istimewa)

 

Dari tokoh ramai dibicarakan ini, siapa kamu jagokan sebagai calon gubernur DKI Jakarta 2024

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement