REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Kementerian Kesehatan Palestina di Gaza menyatakan, daerah terkepung tersebut berstatus sebagai daerah epidemi polio. Status epidemi dikeluarkan mengingat kondisi menyedihkan penduduk jalur Gaza sebagai akibat dari agresi brutal Israel.
Penjajah telah merampas air yang dapat digunakan oleh penduduk, menghancurkan infrastruktur sanitasi, menyebabkan penumpukan ribuan ton sampah, kerawanan pangan, dan kepadatan penduduk di daerah pengungsian paksa. "Serta dengan ditemukannya keberadaan virus polio jenis CVPV2 di air limbah di Gubernuran Khan Younis dan Gubernuran Tengah,"ujar Kementerian Kesehatan Palestina lewat keterangan tertulis kepada Republika, di Jakarta, Senin (29/7/2024).
Menurut Kementerian Kesehatan, status epidemi Gaza menjadi ancaman kesehatan bagi penduduk jalur Gaza dan negara-negara tetangga serta kemunduran bagi program pemberantasan polio global.Kementerian Kesehatan memperingatkan bahwa program untuk memerangi epidemi yang diluncurkan oleh Kementerian Kesehatan dalam kemitraan dengan lembaga-lembaga internasional yang relevan, terutama UNICEF dan Organisasi Kesehatan Dunia, tidak akan cukup.
Terkecuali, ujar Kementerian Kesehatan, ada intervensi segera untuk mengakhiri agresi dan menemukan solusi radikal untuk masalah kurangnya air minum dan sarana kebersihan pribadi seperti deterjen dan desinfektan, memperbaiki jaringan pembuangan kotoran, dan mengangkut berton-ton sampah dan limbah padat.
Kementerian Kesehatan juga mencatat, ada sebanyak 1.737.524 kasus penyakit menular telah tercatat sejak awal agresi. Sementara itu, rumah sakit dan pusat perawatan primer mencatat sejumlah besar penyakit kulit di antara para pengungsi, terutama anak-anak, sebagai akibat dari kepadatan penduduk dan kondisi kehidupan yang buruk. Kondisi ini masih diperparah oleh pasukan pendudukan dengan mengevakuasi daerah pemukiman di Khan Yunis dan gubernuran pusat hari demi hari.
Semua pusat perawatan kesehatan primer masih tidak berfungsi di Gubernuran Khan Yunis sebagai akibat dari penjajah yang memperluas agresinya di gubernuran dan memaksa warga untuk memindahkan mereka secara paksa.
Risiko perluasan area pengungsian semakin meningkat, yang dapat meluas ke sekitar Rumah Sakit Nasser. Rumah sakit ini merupakan satu-satunya rumah sakit yang masih beroperasi meskipun menghadapi tantangan.
Percepatan yang signifikan dalam memburuknya kondisi kesehatan dan penyebaran epidemi di antara warga dan pengungsi karena sulitnya mengakses air bersih dan langkanya makanan yang cukup, yang meningkatkan risiko epidemi yang meluas dan menambah beban sistem kesehatan.
Krisis kekurangan bahan bakar terus berlanjut, mengancam kelangsungan operasi rumah sakit dan pusat kesehatan untuk menyediakan layanan medis bagi warga.