REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Ketua Prodi Sastra Prancis Universitas Padjadjaran (Unpad), Mega Subekti angkat bicara terkait pertunjukan pembukaan Olimpiade Paris 2024 yang belum lama ini menjadi parodi The Last Supper atau Perjamuan Terakhir karya Leonardo da Vinci. Parodi tersebut menjadi kontroversi karena dianggap merendahkan Yesus Kristus dan para rasulnya.
Isu kebebasan berekspresi pun menjadi sorotan. Mega Subekti menjelaskan, merujuk pada sistem sosial budaya Prancis yang mengedepankan asas sekularisme, pelarangan simbol-simbol agama dalam hubungannya dengan negara tidak hanya menyasar agama-agama tertentu, melainkan semua agama dan kepercayaan.
"Ideologi sekulerisme termasuk juga di dalamnya konsep kebebasan yang diyakini di Prancis seringkali dipandang dengan cara yang berbeda terutama dalam konteks ke-Timuran," ujar Subekti kepada Republika.co.id Selasa (30/7/2024).
Secara demografik, menurut dia, Prancis adalah negara multirasial dan multikultural akibat arus imigrasi yang berpangkal pada sejarah Perancis sebagai negara kolonial. Banyak warga Perancis merupakan keturunan negara-negara Afrika, Maghribi, Eropa Timur, Asia, dan lain-lain, dengan latar sosio-kultural-historis yang beragam.
Dalam praktik kemasyarakatan, menurut Subekti, konsep kebebasan berekspresi dan sekulerisme yang dianut Prancis belum tentu sejalan dengan paham dan ideologi individu atau kelompok tertentu yang ada di Prancis.
"Dalam konteks parodi olimpiade 2024, polemik juga sebenarnya tidak hanya terjadi di luar Prancis. Meskipun terlihat “dibela” oleh Macron melalui cuitannya di Twitter beberapa hari yang lalu sebagai pertunjukkan yang kreatif, unik, dan magis, di dalam negeri Prancis juga parodi itu dipandang sebagai pertunjukkan kontroversial karena telah mencederai golongan agama tertentu," ucap Subekti.
Dia mengatakan, beberapa pihak gereja dan politisi sayap kanan Prancis juga ramai-ramai memprotes parodi itu dan dianggap sebagai bentuk penistaan agama dan membuat banyak pihak “terluka”.
Sementara itu, pihak lain juga berpendapat bahwa adegan yang ditampilkan dalam seremoni pembukaan Olimpiade Paris bukan ditujukan untuk menistakan agama tertentu karena dikatakan terinspirasi dari pesta kaum pagan di Olimpia (tempat dewa Zeus).
Dalam pemberitaan surat kabar Le Monde (29/7) disebutkan bahwa ada kesamaan yang lebih banyak adegan kontroversial tersebut dengan “La banquet de Bacchus” dan bukan dengan perjamuan terakhir.
Menurut Subekti, beberapa kesamaan itu setidaknya diidentifikasi melalui Penyanyi Philippe Katerine yang tampil hampir telanjang dengan tubuh dicat biru: merupakan perwujudan dari dewa Dionysos, yang oleh orang Romawi disebut Bacchus. Grup drag-queens yang berbusana ekstravavaganza memberikan alusi juga tentang pesta kaum pagan.
"Sekali lagi, saya hanya ingin menekankan bahwa interpretasi dan respon beragam tentang adegan kontroversial seperti itu tidak hanya terjadi di luar negeri tetapi juga di kalangan masyarakat Prancisnya sendiri yang telah dikenal multirasial dan multikultural," kata Subekti.
Berdasarkan data dari Global Expression Report (GxR) tahun 2024 oleh Article 19 dan Varieties of Democracy Institute (V-Dem), Prancis memang menjadi salah satu negara yang terbuka terhadap kebebasan berekspresi dengan skor 86. Namun, Prancis sendiri justru melarang penggunaan hijab bagi warga negaranya, bahkan untuk atletnya di masa olimpiade ini.
Menurut Subekti, masalah hijab ini juga menjadi polemik di dalam negeri Prancis sendiri. Banyak yang berargumentasi bahwa pelarangan itu menunjukkan konsistensi paham sekularisme Prancis, sebagian berargumentasi bahwa penggunaan hijab adalah bagian dari hak asasi manusia.
"Beberapa cabang olahraga masih tetap memperbolehkan penggunaan hijab asal tidak menganggu dan membahayakan pemain," ujar Subekti.
Memang, kata dia, belum ada undang-undang yang secara eksplisit menyebutkan tentang pelarangan hijab dalam kompetisi olahraga. Katena itu, setiap federasi memiliki kebijakan-kebijakan masing.
"Di olahraga Rugby dan Handball misalnya, pemakaian hijab masih diperbolehkan dengan syarat seperti yang disebutkan di atas," ucap Subekti.
Sedangkan dalam pertandingan yang dilaksanakan di luar negara Prancis, tambah dia, pemakaian hijab tidak dilarang selama sesuai dengan aturan permainan dan keselamatan.
"Polemik itu ditanggapi secara beragam oleh federasi-federasi olahraga Perancis. Beberapa atlet perempuan muslim Prancis memutuskan "berkompromi" dengan menggunakan penutup kepala yang dirancang khusus oleh federasi dan kementerian olahraga, beberapa lainnya memutuskan untuk pindah kewarganegaraan untuk mempertahankan ideologinya tentang keyakinannya," kata Subekti.