REPUBLIKA.CO.ID, DEPOK -- Pengajar di Program Studi (Prodi) Administrasi Keuangan dan Perbankan, Program Pendidikan Vokasi, Universitas Indonesia (UI) Vindaniar Yuristamanda Putri mengatakan literasi keuangan yang rendah menjadi salah satu pemicu maraknya judi online.
"Judi online semakin marak, karena iklan yang begitu masif dan kemudahan masyarakat dalam mengakses platform judi online tersebut. Walau tidak secara langsung muncul di laman setiap orang, iklan judi online tetap muncul dengan mengikuti algoritma pengguna internet," katanya di Kampus UI Depok, Rabu (31/7/2024).
Drone Emprit (perusahaan media monitoring berbasis kecerdasan buatan) mempublikasikan bahwa pada tahun ini Indonesia menempati posisi pertama di dunia sebagai negara dengan pemain judi online terbanyak yakni 201.122 orang.
“Contohnya, jika seseorang pernah mencari informasi tentang judi online di mesin pencarian, maka tidak menutup kemungkinan iklan-iklan judi online muncul di media sosialnya. Iklan tersebut juga tidak secara eksplisit bertuliskan judi online," katanya.
Dengan tampilan dan animasi yang menarik, lanjutnya, iklan tersebut membuat orang tertarik untuk masuk ke dalam aplikasi dan bermain tanpa menyadari bahwa permainan tersebut termasuk judi.
Menurut Pasal 303 KUHP, kata dia, judi adalah permainan yang dilarang karena kemungkinan menang dari permainan tersebut hanya bergantung pada peruntungan saja.
“Pola kejadiannya hampir sama, di mana awalnya pemain selalu menang hingga mendapatkan keuntungan yang berlipat ganda. Sampai pada satu titik pemain akan dibuat ketagihan dan menghabiskan seluruh aset yang dimiliki untuk modal bermain judi. Hal inilah yang akhirnya menimbulkan permasalahan ekonomi di kalangan masyarakat hingga permasalahan psikologis bagi para pemainnya,” kata Vindaniar.
Menurutnya, salah satu faktor awal yang mendorong seseorang melakukan judi online adalah faktor psikologis, seperti rasa penasaran. Pemain judi yang awalnya hanya penasaran, setelah mendapatkan cuan yang besar mulai ketagihan dan menambah terus modal judinya. Faktor lainnya adalah ekonomi.
Pelaku judi online yang umumnya adalah masyarakat ekonomi menengah ke bawah yang berusaha untuk mendapatkan pendapatan tambahan dari judi online.
Padahal, judi online adalah sebuah permainan sistem yang membuat pemain diberikan keuntungan yang besar di awal, tetapi kerugian yang terjadi setelahnya sangat amat tidak terbatas.
Pada triwulan pertama 2024, berdasarkan temuan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), perputaran dana di judi online sudah mencapai Rp 600 triliun.
Angka tersebut meningkat pesat dari total perputaran dana pada 2023 yaitu sebesar Rp 327 triliun. Berdasarkan angka tersebut, disimpulkan bahwa perputaran dana pada judi online sangat masif.
Dana tersebut dihimpun dari para pemain ke bandar judi yang kecil, baik melalui transfer maupun dompet digital. Kemudian, bandar kecil tersebut mengirimkan ke bandar besar.
Vindaniar menyatakan untuk menutupi praktik judi tersebut, bandar meminjam rekening orang lain untuk mengumpulkan dana dari para pemain.
Hal ini yang membuat para bandar dengan mudah melarikan uang para pemain ke luar negeri dan juga membuat Otoritas Jasa Keuangan (OJK) kesulitan dalam menelusuri transaksi yang terjadi.
Rendahnya literasi keuangan di kalangan masyarakat Indonesia masih menjadi salah satu pemicu fenomena tersebut terjadi. Peningkatan literasi keuangan dalam bentuk pemberdayaan masyarakat harus terus dilakukan hingga ke setiap lini masyarakat.
“Literasi keuangan ini perlu didukung dari setiap pihak, baik pemerintah, akademisi, hingga tokoh masyarakat sekitar. Pemerintah sebagai pemangku kebijakan selayaknya harus dapat bertindak lebih cepat dalam memberantas praktik judi online ini. Mulai dari menutup platform-nya agar tidak dapat diakses oleh masyarakat, hingga menindak dengan tegas seluruh bandar dan admin judi online,” kata Vindaniar.
Beberapa dampak negatif yang ditimbulkan dari judi online sangat beragam. Pelaku judi online secara ekonomi akan mengalami kerugian finansial yang cukup besar, bahkan hingga bangkrut. Tidak sedikit mereka terjebak dalam utang yang sangat besar karena bermain judi. Dampak lainnya, kata dia, adalah meningkatkan angka kemiskinan dan kejahatan, sehingga praktik ini akan menghasilkan efek snowball ke berbagai lingkungan.
Selain itu judi online dapat memicu kecanduan para pemainnya. Tanpa disadari oleh pelaku, mereka banyak menghabiskan waktu hanya untuk bermain judi. Tak kalah penting, judi online juga berisiko terjadi pencurian data dan penipuan.
Vindaniar mengimbau agar masyarakat sebaiknya tidak tergiur dengan praktik mendapatkan uang secara instan. Salah satu karakteristik kejahatan keuangan yang paling mudah untuk diidentifikasi adalah yang menjanjikan keuntungan berlipat ganda dalam waktu singkat.
Vindaniar juga mengajak agar masyarakat mulai memperhatikan pengelolaan keuangan mereka. Pengalokasian dana dapat dilakukan mulai dari keperluan sehari-hari selama sebulan, pembayaran tagihan dan cicilan, alokasi untuk menabung, dana darurat, hingga investasi di instrumen surat berharga yang legal seperti saham, obligasi, atau reksa dana.