Di luar berbagai pengaturan progresif yang baik tersebut, ada beberapa hal yang masih menjadi catatan IISD yang menjadi kritik.
1. Masih dibolehkannya iklan rokok. Larangan iklan hanya berlaku di media sosial. Iklan di media lain masih diperbolehkan seperti di website dan platform internet lainnya. Iklan di televisi masih boleh ditayangkan pada pukul 22.00 hingga 05.00, (berubah 30 menit dari aturan sebelumnya). Larangan Iklan di Media Luar Ruang juga masih diperbolehkan meski dengan ketentuan tidak boleh ditempatkan dalam radius 500 meter dari satuan pendidikan dan tempat bermain anak.
2. Salah satu faktor determinan penyebab darurat rokok sedemikian mencemaskan adalah 'sihir' iklan. Berbagai evidensi menunjukkan iklan adalah salah satu faktor yang mempunyai pengaruh signifikan menstimulasi anak muda merokok. Dalam riset Indonesia Institute for Social Development (IISD), 71% Perokok Pelajar menyatakan bahwa iklan rokok itu kreatif/inspiratif, merangsang mereka untuk merokok. Di ASEAN, hanya Indonesia yang masih membolehkan iklan rokok. Sulit mengeliminir epidemi rokok tanpa kebijakan larangan iklan. gempuran iklan rokok mendistorsi pemahaman publik, terutama pada kelompok rentan (remaja dan anak- anak). Kesadaran publik yang terjerat oleh citra yang dikonstruksi iklan tersebut membuat mereka rela mengabaikan segala dampak buruk yang terkandung dalamnya.
3. Peringatan kesehatan hanya 50%. Sesuai Pasal 438 Ayat (4) huruf e, Pictorial health warning (PHW) pada kemasan rokok harus menempati 50 persen dari bagian atas kemasan sisi lebar depan dan belakang. Ketentuan ini hanya naik 10%. Sebagai informasi, dalam regulasi sebelumnya, PHW ditetapkan 40%. Padahal berbagai riset menunjukkan PHW hanya efektif dalam besaran diatas 80%.