REPUBLIKA.CO.ID,GAZA – Syahidnya kepala biro politik Hamas Ismail Haniyeh jadi kabar yang mengejutkan dunia. Wartawan Republika Nur Hasan Murtiaji sempat menemuinya ketika meliput di Jalur Gaza pada 2010 silam.
Ia kala itu membersamai rombongan DPR RI. Berikut tulisannya mengenai pertemuan itu disadur dari Harian Republika edisi 8 Juli 2010.
Bagaikan mimpi dan tak percaya atas apa yang terjadi. Perasaan haru, bangga, musykil, teraduk menjadi satu. Laiknya mission impossible yang benar-benar terlaksana.
Itulah kesan pertama saya saat hendak berjabat tangan dengan Perdana Menteri (PM) Palestina dari faksi Hamas, Ismail Haniyeh, sewaktu mengantre menunggu bersalaman dengannya di pintu kantor PM di Kota Gaza City, pada Selasa (29/6/2010), sekitar pukul 13.39.
Saya sempat termenung beberapa detik, tak tahu hendak berkata dan berbuat apa, saat akan bersalaman dengan tokoh Palestina yang paling dicari Israel ini. Bagi saya, Haniyeh adalah sosok pejuang yang pernyataannya hanya bisa saya kutip melalui kantor-kantor berita asing.
Wajahnya pun hanya bisa saya lihat dari foto-foto dan video kantor berita asing. Perjumpaan secara langsung dengannya, benar-benar seperti fatamorgana.
Namun, seolah tersadar dari mimpi, tangan saya seperti digerakkan sesuatu untuk segera membuka kotak kamera. Saat itu, saya terhalang empat orang dengannya, yang sama-sama sedang mengantre bersalaman.
Secara spontan, kamera saya arahkan ke wajah Haniyeh. Jepretan kedua saya tujukan lagi ke arahnya, kali ini saya hanya terhalang dua orang dengannya.
Hingga waktu itu pun tiba. ‘’Ahlan wa sahlan, assalamualaikum,’’ begitulah sapanya saat saya menjabat tangannya. Saya pun menjawab, ‘’Ahlan bika, wassalamualaikum. Barakallahu laka.’’
Sejujurnya, saat akan memfoto tokoh Hamas ini, saya sempat khawatir dilarang pasukan pengawal Haniyeh, yang mengawal ketat tak jauh dari sisi kiri dan kanannya. Apalagi, tas ransel tipis berisi laptop dan dokumen perjalanan, masih menempel di punggung saya.
Saya cuek tak menanggalkan tas ransel saya, padahal waktu itu ada rekan yang sedang memanggul tas ransel, ditegur pengawal Haniyeh agar tak dibawa masuk ke ruang kantor PM. Tas rekan itu pun dititipkan ke pengawal tersebut.
Belakangan, saya menyadari, gara-gara tas itulah sepertinya Haniyeh tak memeluk saya (gaya orang Arab ketika bersalaman dengan bersentuhan pipi kiri pipi kanan). Padahal, kepada tamu-tamu pria rombongan delegasi DPR, Haniyeh melakukan cara salaman khas negara-negara Arab itu.
Hanya kepada anggota delegasi wanita, Haniyeh tak mengulurkan tangan. Haniyeh hanya menempelkan telapak tangannya yang terbuka di dadanya. Hal yang sama juga dilakukan penerima tamu terhadap anggota delegasi yang wanita.
Rupanya, Haniyeh mungkin mencurigai isi tas saya. Maklum, di medan perang seperti di Gaza, apa pun bisa terjadi.
Kecurigaan pengawal Hamas juga terjadi pada ajudan ketua DPR RI, Edison Eman Tjarya. Pengawal ketua DPR dari Mabes Polri ini memang waktu itu mengenakan rompi antipeluru.
Sedianya, rompi ini dipakai oleh Ketua DPR Marzuki Alie. Namun, saat berada di pintu perbatasan Rafah, Mesir, Marzuki menanggalkan rompinya. ‘’Semula Bapak (Marzuki Alie) memakai rompi antipeluru (body vest), tapi kemudian dibukanya. ‘Enggak usah pakai rompilah, insya Allah kita selamat. Lagi pula tujuan perjalanan kita ini kan baik’,’’ tutur Edison menirukan alasan Marzuki yang melepas rompi antipelurunya.
Edison menceritakan, dia tak diperkenankan masuk ke ruang kantor PM bersama anggota delegasi yang lain gara-gara rompi yang dikenakannya. ‘’Pengawal Hamas bertanya, itu (rompi) apa?’’ ‘’Saya menjawab, ’Ini rompi untuk shot dan gun (tembakan dan senjata)’.’’
Edison berbicara dalam bahasa Inggris. Sedangkan pengawal Hamas tak lancar berbahasa Inggris. Dikelilingi sejumlah personel pengawal Hamas, Edison pun memberikan penjelasan ala kadarnya dengan bahasa ‘Tarzan’, dan menegaskan ini hanya rompi untuk perlindungan dari tembakan, bukan bom.
Setelah bersusah payah menjelaskan, mereka pun mengerti. Namun, Edison tetap tak diperkenankan masuk ruangan kantor PM.
Kebetulan, saat itu Edison teringat belum menunaikan shalat Dzuhur dan Ashar. Kepada pengawal dari Hamas itu, Edison pun mengutarakan maksudnya untuk menunaikan shalat.
‘’I want to pray, shalat,’’ kata Edison. Tanpa banyak tanya, para pengawal itu langsung mengarahkan Edison yang lahir di Biak, Papua, ini ke salah satu ruangan. Dengan sigap, selembar sajadah pun digelar.
Kali ini, Edison telah berada di dalam kantor PM meski berbeda ruangan dengan tempat pertemuan anggota delegasi DPR dan Haniyah. Para pengawal Hamas itu kemudian mempersilakannya mengambil wudhu.
Saat hendak mengambil wudhu itulah, rompi antipelurunya dilepas di salah satu meja di ruangan itu. Sambil wudhu, Edison memerhatikan para pengawal dari Hamas itu meraba-raba dan memegang dengan saksama rompi itu.
‘’Boleh saya minta satu rompi ini,’’ kata salah satu pengawal kepada Edison. Spontan Edison menjawab, ‘’Rompi ini bukan punya saya, itu milik rois Marzuki (ketua DPR).’’
Mereka merayu Edison berkali-kali supaya diberi satu saja rompi itu. Namun, Edison berkeras rompi itu bukan miliknya. Akhirnya, para pengawal itu meminta untuk memfoto rompi tersebut.
Kalau permintaan ini, Edison tak masalah. Namun, saat akan difoto, Edison dipanggil untuk menerima kalungan syal dari Haniyah. Dan tak lama, rombongan delegasi DPR keluar dari kantor PM untuk menuju Commodore Gaza Hotel, tempat kami dijamu makan siang.
Namun, karena keterbatasan waktu, acara memfoto rompi di Commodore Gaza Hotel itu pun gagal. Rombongan harus meninggalkan hotel agar sampai di Kairo pukul 23.00 sebelum berangkat lagi ke Suriah. ‘’Rupanya, para pengawal perdana menteri tak punya rompi antipeluru. Kasihan betul ya,’’ kata Edison kepada Republika.