Kamis 01 Aug 2024 16:21 WIB

Menjadi Mata-Mata, Bagaimana Hukumnya dalam Islam?

Bagaimana hukum menjadi mata-mata menurut Islam?

mata-mata (ilustrasi)
mata-mata (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dalam konteks bernegara, kegiatan mata-mata adalah sebuah hal yang lumrah dilakukan. Terlebih lagi dalam dunia militer. Spionase penting untuk mengetahui atau memprediksi kekuatan lawan, terutama dalam situasi perang.

Dalam Islam, apakah kegiatan memata-matai diperbolehkan? Dalam khazanah Islam, spionase diistilahkan sebagai tajassus. Tujuannya menyelidiki berbagai keadaan musuh, mulai dari aspek taktik, kekuatan personil, hingga perbekalan. Semua informasi itu kemudian dilaporkan kepada pimpinan pasukan. Adapun mata-mata yang menyelidiki rahasia atau keadaan pihak lain disebut al-jasus.

Baca Juga

Soal hukum tajassus, khususnya dalam konteks siasat peperangan, para ulama membaginya menjadi dua bagian. Pertama, hukum Muslimin memata-matai keadaan musuh.

Para ulama sepakat ihwal kebolehan seorang pemimpin kaum Mukminin untuk mengirimkan seseorang menyusup ke daerah musuh dan menyelidiki kekuatan lawan. Penyelidikan ini bertujuan mengetahui taktik musuh dan memenangkan peperangan. Dengan demikian, umat Islam atau negara tempat tinggal mereka tidak mendapatkan kehancuran.

Dasar dari kebolehan ini adalah Alquran surah al-Baqarah ayat ke-195. "Dan infakkanlah (hartamu) di jalan Allah dan janganlah kamu jatuhkan (diri sendiri) ke dalam kebinasaan dengan tangan sendiri ...."

Jihad dapat dimaknai sebagai upaya menghadapi bahaya yang ditimbulkan oleh pihak yang tidak senang dengan agama Islam. Allah SWT berfirman, yang artinya, "Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, tetapi jangan melampaui batas. Sungguh Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas" (QS al-Baqarah: 190).

Mata-mata menjadi salah satu elemen kekuatan dalam melawan kekuatan musuh. Umat Islam diperintahkan menyiapkan kekuatan semaksimal mungkin untuk menghadapi musuh yang memerangi mereka. Hal ini termaktub dalam surah al-Anfal ayat ke-60.

Sejarah mencatat, Nabi Muhammad SAW pun menugaskan sahabat beliau untuk melakukan perbuatan mata-mata saat situasi perang. Misalnya, ketika Perang Badar. Saat itu, Rasulullah SAW mengutus 12 orang yang dipimpin Abdullah bin Ubay Hadrad untuk menyelidiki kekuatan musuh.

 

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
يٰبَنِيْٓ اٰدَمَ لَا يَفْتِنَنَّكُمُ الشَّيْطٰنُ كَمَآ اَخْرَجَ اَبَوَيْكُمْ مِّنَ الْجَنَّةِ يَنْزِعُ عَنْهُمَا لِبَاسَهُمَا لِيُرِيَهُمَا سَوْاٰتِهِمَا ۗاِنَّهٗ يَرٰىكُمْ هُوَ وَقَبِيْلُهٗ مِنْ حَيْثُ لَا تَرَوْنَهُمْۗ اِنَّا جَعَلْنَا الشَّيٰطِيْنَ اَوْلِيَاۤءَ لِلَّذِيْنَ لَا يُؤْمِنُوْنَ
Wahai anak cucu Adam! Janganlah sampai kamu tertipu oleh setan sebagaimana halnya dia (setan) telah mengeluarkan ibu bapakmu dari surga, dengan menanggalkan pakaian keduanya untuk memperlihatkan aurat keduanya. Sesungguhnya dia dan pengikutnya dapat melihat kamu dari suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka. Sesungguhnya Kami telah menjadikan setan-setan itu pemimpin bagi orang-orang yang tidak beriman.

(QS. Al-A'raf ayat 27)

Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement