Selasa 06 Aug 2024 08:30 WIB

Soal Kerusuhan di Inggris, MUI: Islamofobia Sudah Akut di Inggris

Kerusuhan anti Muslim terjadi di Inggris.

Rep: Fuji E Permana/ Red: Muhammad Hafil
Petugas memadamkan api saat terjadi kerusuhan demonstrasi anti-imigrasi di area Holiday Inn Express di Rotherham, Inggris, Ahad (4/8/2024).
Foto: Danny Lawson/PA via AP
Petugas memadamkan api saat terjadi kerusuhan demonstrasi anti-imigrasi di area Holiday Inn Express di Rotherham, Inggris, Ahad (4/8/2024).

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Hubungan Luar Negeri dan Kerja Sama Internasional, Prof Sudarnoto Abdul Hakim mengatakan, protes dan kerusuhan anti imigran di Inggris adalah peristiwa yang sangat buruk sekali.

"Ini menggambarkan bahwa islamofobia itu sudah akut betul di Inggris itu, memang menyusul di beberapa tempat seperti di Amerika itu juga angka islamofobia itu naik 216 persen dibandingkan dengan tahun lalu," kata Prof Sudarnoto kepada Republika, Senin (5/8/2024).

Baca Juga

Menurutnya, meningkatnya islamofobia ada kaitannya dengan peristiwa di Timur Tengah atau di Palestina. Di Inggris juga terjadi kekacauan karena kelompok garis keras sayap kanan itu menyebut pelaku pembunuhan tiga anak di bawah umur adalah orang Islam, padahal ternyata orang Kristen keturunan Rwanda.

Mengapa kelompok garis keras sayap kanan itu menuduh Muslim sebagai pelakunya, Prof Sudarnoto mengatakan, karena mereka sudah menganggap bahwa Islam itu terkait dengan ras dan warna kulit. Jadi mereka mencap jika ada orang kulitnya hitam atau dengan ciri-ciri fisik dan biologis tertentu, itu dianggap sebagai Islam atau dianggap Muslim.

"Hal ini memberikan gambaran terjadi kesalahan yang sangat luar biasa di dalam menerima atau bergaul atau melihat kelompok-kelompok lain," ujar Prof Sudarnoto.

Prof Sudarnoto mengatakan, seperti yang terjadi di Amerika. Ada ras kulit putih dan kulit hitam atau kulit berwarna. Jadi sepanjang mereka bukan kulit putih, maka mereka dianggap kelas kedua. Jika orang kulit berwarna dan beragama Islam maka bisa dianggap kelas dua atau kelas tiga.

Bagi kelompok ekstrem, masyarakat kelas dua dan kelas tiga ini dianggap tidak seharusnya berada di wilayah kulit putih yang menganggap dirinya sebagai nomor satu. Hal yang dilakukan kelompok ekstrem adalah segregasi tapi yang paling ekstrem tidak sekedar segregasi, tapi sampai ke tindakan-tindakan kekerasan seperti yang terjadi di Amerika dan sekarang terjadi di Inggris, juga di India.

"Jadi yang terjadi di Inggris itu (kelompok ekstrem kanan) mendiskriminasi sedemikian rupa berdasarkan berwarna kulit, meskipun ternyata mereka salah karena ternyata (pelaku pembunuhan anak-anak) itu adalah orang Kristen," ujar Prof Sudarnoto.

Sebagaimana diberitakan The National News pada Senin (5/8/2024), kerusuhan di Inggris dipicu oleh berita palsu di media sosial (medsos) yang menyebutkan bahwa tersangka penusukan tiga anak di Southport adalah seorang imigran Muslim.

Penusukan atau pembunuhan tiga orang anak sebenarnya dilakukan Axel Rudakubana (17 tahun) yang lahir di Wales dari orang tua imigran Rwanda yang beragama Kristen, ia didakwa atas tiga pembunuhan dan 10 percobaan pembunuhan.

Menurut Prof Sudarnoto, pristiwa itu dimanfaatkan oleh kekuatan politik sayap kanan ekstrim untuk menimbulkan atau memunculkan anti-Islam atau islamofobia. Sekarang sudah islamofobia meluas menjadi problem yang sangat serius, menyangkut juga soal keamanan dan sebagainya. Umat Islam sudah khawatir dengan hal yang mungkin dilakukan kelompok anti-Islam.

"Jadi saya, kami, Majelis Ulama Indonesia mengutuk perbuatan-perbuatan kelompok-kelompok garis kanan ini yang telah melakukan tindakan-tindakan kekerasan berbasis islamofobia," kata Prof Sudarnoto.

Ketua MUI ini menegaskan, pemerintah Inggris harus serius menangani islamofobia. Karena jika tidak serius penanganannya secara hukum, maka ke depan bisa muncul lagi kerusuhan. Jadi presedennya akan terus berulang.

"Saya kira aparat (Inggris) harus menindak tegas, pemerintah juga harus menindak tegas, saya dengar sudah ada beberapa (kelompok anti imigran yang rusuh) yang ditangkap, ini harus diselesaikan secara lebih serius," kata Prof Sudarnoto.

Ketua Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah (PCIM) Inggris, Dyah Mustikaning Pitha Prawesti menceritakan latar belakang terjadinya protes anti imigran yang dimanfaatkan kalangan ekstremis kanan untuk meningkatkan islamofobia di Inggris.

Dyah mengatakan, protes anti imigran di Inggris sebenarnya sudah banyak letupan-letupan sebelumnya. Tapi pemicu terbesarnya adalah kejadian menyedihkan adanya penusukan yang dilakukan oleh seorang remaja berusia 17 tahun di Southport pekan lalu. Korbannya tiga anak usia di bawah 10 tahun meninggal dunia, sementara beberapa remaja dan gurunya terluka parah.

"Karena penyerangan itu maka membuat orang-orang marah, yang tidak menolong adalah hukum di Inggris ini, karena penyerangnya di bawah umur yakni baru berumur 17 tahun, jadi tidak disebutkan namanya dan identitasnya, memang hukumnya seperti itu," kata Dyah kepada Republika, Senin (5/8/2024)

Dyah mengatakan, kalau pelaku masih di bawah umur tidak boleh diumumkan identitasnya. Kemudian terjadilah di sosial media (medsos) spekulasi-spekulasi siapa pelakunya. Salah satu spekulasi yang santer itu adalah dari kalangan ekstremis kanan, tokohnya mengatakan bahwa pembunuhan anak-anak itu dilakukan oleh imigran. Sempat juga disebut-sebut namanya dan dispekulasikan sebagai imigran Muslim yang jadi pelakunya.

Dyah mengatakan, memang banyak disinformasi yang kemudian dijadikan alasan oleh kalangan ekstremis kanan untuk kemudian meningkatkan islamofobia.

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement