REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Pemilihan Yahya Sinwar sebagai pemimpin Hamas dinilai memperkuat hubungan strategis antara gerakan tersebut dan Iran. Terpilihnya Sinwar menunjukkan adanya front persatuan antara Teheran dan sekutunya dalam Poros Perlawanan dalam perjuangan melawan Israel dan Amerika Serikat, demikian laporan The Wall Street Journal pada Kamis (8/8/2024).
Ketika para anggota kelompok Palestina berkumpul untuk memilih pengganti martir Ismail Haniyeh, yang dibunuh oleh Israel ketika berada di Teheran, Sinwar menyela diskusi dengan sepucuk surat: "Pemimpin baru haruslah orang yang dekat dengan Iran," menurut informasi dari para pejabat Arab dan Hamas.
"Ini jelas menempatkan seseorang yang dianggap lebih dekat dengan Iran di posisi teratas," kata Hugh Lovatt, seorang peneliti kebijakan senior di European Council on Foreign Relations.
WSJ menilai, promosi Sinwar oleh anggota senior Hamas menandakan bahwa gerakan Palestina mendukung strateginya untuk berperang melawan Israel bersama dengan sekutu-sekutu Iran.
Laporan tersebut mencatat bahwa Sinwar, sebagai pemimpin politik Hamas yang baru berusaha untuk mencapai sebuah negara Palestina. Sinwar disebut memiliki tujuan yang sama dengan Iran untuk menghancurkan negara Israel demi mencapainya.
Sementara itu, para pejabat Israel melihat langkah tersebut sebagai perubahan signifikan dalam hubungan antara Hamas dan Iran."Terpilihnya Yahya Sinwar sebagai pemimpin Hamas harus mengirimkan pesan yang jelas kepada dunia bahwa masalah Palestina sekarang sepenuhnya dikendalikan oleh Iran dan Hamas," kata Menteri Luar Negeri Israel, Israel Katz, pada Rabu.
Menurut surat kabar tersebut, Sinwar adalah salah satu pendukung terkuat untuk memperbaiki hubungan Hamas dengan Iran setelah ketegangan yang dikenal Arab Spring. WSJ juga melaporkan, Sinwar pertama kali menjangkau Iran ketika menjalani beberapa hukuman seumur hidup di penjara pendudukan Israel.
Pada 2021, setelah gencatan senjata dicapai untuk mengakhiri Operasi Seif Al-Quds selama sebelas hari dan konfrontasi dengan militer pendudukan Israel, Sinwar mengatakan bahwa Hamas berterima kasih kepada Iran karena telah memberikan uang, senjata, dan keahlian."Mereka [Iran] tidak bersama kami di lapangan. Tapi mereka bersama kami," katanya.
Dalam konteks yang sama, Jackie Khoury, seorang analis urusan Arab di Radio Angkatan Darat Israel, menyatakan kepemimpinan Hamas menyadari bahwa Israel dan Perdana Menterinya, Benjamin Netanyahu, cenderung menolak gencatan senjata di Gaza dan kesepakatan pertukaran tawanan.
Dia menambahkan, dengan terpilihnya Sinwar, gerakan Palestina secara resmi telah mengubah situasi di lapangan menjadi lebih nyata. Hamas beralih dari diplomasi ke medan perang.
Selain dari hubungan masyarakat, Khoury berpendapat, Sinwar belum menerima peningkatan statusnya, dan menambahkan bahwa dalam praktiknya. Bagaimanapun, Sinwar dinilai tetap menjadi tokoh paling kuat di Hamas.