REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Lembaga think-tank Ember melaporkan dunia gagal memenuhi janji Pertemuan Perubahan Iklim PBB (COP28) tahun lalu untuk meningkatkan pembangkit listrik tenaga angin tiga kali lipat. Desember tahun lalu di COP28, negara-negara berjanji meningkatkan pembangkit listrik tenaga terbarukan tiga kali lipat pada tahun 2030.
Menurut Badan Energi Internasional (IEA) dan lembaga lainnya, pembangkit listrik tenaga angin harus naik tiga kali lipat untuk memenuhi janji itu. Ember memeriksa target nasional yang ditetapkan 70 negara bertanggung jawab untuk 99 persen pembangkit tenaga listrik tenaga angin yang sudah ada.
Ember menemukan pembangkit listrik tenaga angin akan meningkat dua kali lipat, bukan tiga kali lipat, dibandingkan tahun 2022. Lembaga think-tank yang berbasis di London tersebut mengamati turbin angin baik di darat maupun di lepas pantai.
"Pemerintah kurang berambisi untuk meningkatkan pembangkit listrik tenaga angin, khusus tenaga angin darat, angin belum mendapat perhatian yang cukup," kata pengamat kelistrikan Ember Katye Altieri, Kamis (8/8/2024).
Angin kerap berhembus paling kencang saat matahari tidak terlalu tinggi di langit. Sehingga menjadi pelengkap yang baik bagi energi surya untuk mendapatkan energi bersih 24 jam sehari.
Laporan Ember juga mengukur kemajuan negara-negara dalam mencapai target mereka sendiri. Amerika Serikat (AS) masuk dalam negara paling gagal mencapai targetnya sendiri. AS kekurangan 100 gigawatt atau tidak mampu mengaliri listrik ke lebih dari 30 juta rumah dengan energi terbarukan.
Target yang digunakan AS berasal dari Laboratorium Energi Terbarukan Nasional atau National Renewable Energy Laboratory (NREL) yang merupakan bagian dari Departemen Energi AS. Departemen itu menolak memberikan komentar.
India berada di peringkat kedua yang paling gagal mencapai targetnya sendiri. Altieri mengatakan proyek pembangkit listrik tenaga angin di India mencapai lebih dari 30 gigawatt. Namun hanya 4 persen listrik dari India berasal dari angin.
Beberapa pejabat kementerian energi India tidak menanggapi permintaan komentar tertulis. Brasil dan Finlandia merupakan dua negara terbaik dalam upaya memenuhi target ini. Masing-masing kini menghasilkan 15 dan 11 gigawatt energi dari angin.
Mereka masuk dalam 10 negara yang berhasil melampaui target mereka. Tujuh dari 10 lainnya merupakan negara Eropa termasuk Turki.
Ketua Peneliti Smith School of Enterprise and Environment di University of Oxford Brian O'Callaghan menegaskan teknologi adalah kunci. Angin semakin kuat di tempat yang tinggi, jadi semakin tinggi turbin semakin banyak listrik yang dihasilkan.
"(Dalam dua dekade terakhir) teknologi mengalami peningkatan secara drastis yang mendorong semakin tingginya turbin, terutama di lepas pantai," katanya.
Artinya, masih banyak peluang bagi negara-negara untuk mencapai target mereka. Kecepatan angin juga penting. Menggandakan kecepatan angin akan menghasilkan peningkatan daya delapan kali lipat. "Sebagian besar negara pesisir belum memanfaatkan sumber daya angin lepas pantai mereka, Inggris adalah contoh utama," katanya.
Beberapa negara memiliki angin kencang tetapi baru mulai membangun turbin angin. Altieri merujuk Rusia, Jepang, dan Korea Selatan dalam kategori ini.
Menurut NREL, Rusia merupakan salah satu negara yang memiliki potensi angin terbesar dibandingkan negara lain. Tetapi Ember mengatakan hanya 1 persen listrik di negara itu yang berasal dari angin.
John Reilly dari Massachusetts Institute of Technology, yang telah mempelajari kebijakan energi dan perubahan iklim selama 45 tahun, mengatakan Rusia tidak berkomitmen untuk mengurangi emisi gas rumah kaca.
"Rusia memiliki gas alam dan batu bara dalam jumlah yang sangat besar, jadi tidak ada insentif ekonomi yang nyata bagi mereka untuk mengembangkan tenaga angin," katanya.
Jepang juga sangat berangin, tetapi menurut Altieri hanya 1 persen dari listriknya berasal dari angin. "Lautan sangat dalam hanya sedikit di lepas pantai Jepang, sehingga membuatnya lebih sulit," kata Reilly. Negara ini juga bergunung-gunung curam, sehingga sulit untuk menempatkan turbin.
Reilly mengatakan turunnya biaya untuk pembangunan pembangkit listrik tenaga surya dapat membantu menjelaskan kurangnya minat terhadap tenaga angin. "Saat komitmen-komitmen besar ini dibuat, angin terlihat sumber energi terbarukan yang paling murah," katanya.
Namun, tambahnya, sejak 2020 ongkos pembangunan pembangkit listrik tenaga surya turun drastis. Altieri mengatakan meski beberapa negara masih jauh tertinggal masih ada harapan. "Eropa melakukannya dengan baik," katanya.
Ia menambahkan Laut Utara merupakan sumber energi angin yang besar. Ia memprediksi Eropa dan Cina masih akan terus mendominasi dalam ekspansi pembangkit listrik tenaga angin.