Sabtu 10 Aug 2024 07:28 WIB

Perubahan Iklim Dapat Picu Konflik di Asia Selatan

Ketersediaan air bukanlah satu-satunya masalah Asia Selatan.

Rep: Lintar Satria/ Red: Satria K Yudha
Banjir melanda Provinsi Punjab di Pakistan.
Foto: AP
Banjir melanda Provinsi Punjab di Pakistan.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Pendiri organisasi yang fokus pada dampak perubahan iklim Climate Nexus, Jeff Nesbit, mengatakan kelangkaan air di Pakistan dapat sangat berbahaya. Asia Selatan mengalami kekeringan dan air merupakan masalah serius.

Perubahan iklim menyebabkan pola hujan yang tidak menentu sehingga mengakibatkan banjir bandang dan kekeringan serta kelangkaan air dan melelehkan gletser. Perubahan iklim juga meningkatkan intensitas curah hujan dan aliran sungai.

Dikutip dari Euro Asia Review, Jumat (9/8/2024), berdasarkan laporan yang dipublikasikan dalam jurnal ilmiah Afrika tahun 2022, selama 60 tahun terakhir Pakistan mengalami 19 banjir besar yang berdampak pada 594.700 kilometer lahan dan 166.075 desa. Ini menimbulkan kerugian hingga 30 miliar dolar AS dan menelan 10.668 nyawa.

Pakistan mengalami banjir mematikan pada tahun 2010 dan 2012. Dampak perubahan iklim diperkirakan semakin mempengaruhi ketersediaan dan kualitas air di Asia Selatan.

Ketersediaan air bukanlah satu-satunya masalah Asia Selatan, tapi juga di seluruh dunia. Dalam laporan McKinsey, pada tahun 2030 diperkirakan hanya 60 persen populasi dunia yang akan menggunakan air bersih, sementara 40 persen populasi atau 3 miliar orang tidak memiliki akses ke air bersih.

Dalam skenario tersebut, 70 persen air akan digunakan untuk pertanian. Pertanyaannya apakah hal ini dapat meningkatkan kemungkinan perang memperebutkan air? Pasalnya pada tahun 2030, populasi dunia akan mencapai 8,3 miliar orang.

Oleh karena itu, perubahan iklim kemungkinan akan berdampak pada keamanan di wilayah-wilayah yang bergejolak di seluruh dunia. Perubahan iklim memengaruhi ketersediaan air melalui pola curah hujan yang tidak menentu.

Perubahan iklim juga mengakibatkan gletser lebih cepat meleleh, menyusutkan lapisan es, menaikkan permukaan air laut hingga menyebabkan banjir, kekeringan, dan bencana alam lainnya. Menurut SDG Report 2022, sekitar 2 miliar orang membutuhkan akses terhadap air minum yang aman, dan hanya 0,5 persen yang dapat digunakan.

Selama 20 tahun terakhir, air dalam bentuk salju, es, dan kelembaban tanah berkurang 1 cm per tahun. Apakah Asia Selatan menghadapi masalah keamanan air yang parah?

Dalam laporan Pertemuan Air PBB tahun 2023 disebutkan 90 persen bencana berkaitan dengan air dan perubahan iklim sebagai pemicunya. Asia Selatan yang merupakan salah satu kawasan terpadat dan dihuni seperempat populasi dunia, sangat rentan terhadap perubahan iklim.

Laporan Departemen PBB Divisi Urusan Ekonomi, Sosial dan Populasi mengatakan karena air tanah menurun akibat naiknya populasi perkotaan, kelangkaan air di Asia Selatan akan semakin parah. Sekitar setengah populasi India pada tahun 2030 akan mengalami kelangkaan air akut. Penelitian yang dilakukan ORF menunjukkan ketersediaan air per kapita India turun dari turun dari 1986 meter kubik pada tahun 1998 menjadi 1731 meter kubik pada tahun 2005, sehingga negara ini hampir mendeklarasikan mengalami kelangkaan air.

Situasi di Pakistan tidak jauh berbeda. Sebagai contoh, ketersediaan air per kapita pada tahun 1951 adalah 5260 meter kubik, lalu pada tahun 2016 turun menjadi 1017 meter kubik. Selain itu, perubahan iklim juga mempercepat pencairan gletser.

Pegunungan Hindu Kush, rumah bagi sekitar 54.000 gletser, mencair dengan cepat. Hal ini menyebabkan ancaman besar bagi India dan Pakistan. Pencairan gletser dapat memicu banjir bandang di awal dan kekeringan di akhir.

Sejak 2010 gletser-gletser di pegunungan itu sudah dilaporkan mencair dengan kecepatan tinggi. Gletser-gletser itu mencair 65 persen lebih cepat.

Kondisi itu akan berdampak pada produksi pertanian karena sektor ini menyumbang 90 persen konsumsi air, dan dampak perubahan iklim akan mengurangi hasil panen dari 4 menjadi 10 persen pada tahun 2050, ancaman langsung terhadap ketahanan pangan.

Baik India maupun Pakistan mengandalkan irigasi untuk pertanian. Akan tetapi, efisiensi irigasi India sekitar 38 persen, sementara Pakistan 40 persen. Dalam situasi seperti itu, penyimpanan air memainkan peran kunci.

Hubungan antara India dan Pakistan terjalin oleh air. Dua negara itu berbagi air dari Cekungan Indus yang berasal dari pegunungan Himalaya dan Hindukush. Kedua negara ini juga menandatangani perjanjian air India karena batas-batas mereka memotong sebagian besar aliran air dengan bantuan Bank Dunia pada tahun 1960.

Namun, India tetap membangun bendungan Gangga Krishan sebagai batas atas untuk melawan perubahan iklim. India membangun bendungan ini di hulu sungai Bonar Nalla, yang terletak di Kashmir.

India percaya bendungan ini akan memenuhi kebutuhan listriknya. Pada tahun 2013, Pakistan mengajukan kasus terhadap India di Pengadilan Arbitrase Permanen, mengeklaim proyek ini akan mengurangi aliran air alami sebesar 27 persen. Maka timbul pertanyaan: apakah akan terjadi perang air antara Pakistan dan India?

Meskipun perubahan iklim belum secara langsung dikaitkan dengan perang atau konflik, dalam pidatonya di senat, politisi senior dan pemimpin oposisi pemerintah Pakistan, Sherry Rehman mengatakan masalah keamanan air menjadi ancaman keamanan di Asia Selatan.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement