Ahad 11 Aug 2024 12:46 WIB

Imbas Kerusuhan yang Dipicu Hoaks, Inggris akan Ubah Regulasi Media Sosial

Menurut Wali Kota London, UU Keamanan Online perlu diubah setelah kerusuhan.

Rep: Gumanti Awaliyah/ Red: Qommarria Rostanti
Media sosial. (Ilustrasi). Pemerintah Inggris sedang mempertimbangkan perubahan pada Undang-Undang Keamanan Online yang dirancang untuk mengatur perusahaan media sosial.
Foto: Pixabay
Media sosial. (Ilustrasi). Pemerintah Inggris sedang mempertimbangkan perubahan pada Undang-Undang Keamanan Online yang dirancang untuk mengatur perusahaan media sosial.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --Pemerintah Inggris sedang mempertimbangkan perubahan pada Undang-Undang Keamanan Online yang dirancang untuk mengatur perusahaan media sosial. Hal ini menyusul kerusuhan rasis dan anti-imigran selama sepekan yang dipicu oleh informasi hoaks yang menyebar di dunia maya.

Menteri Kantor Kabinet Nick Thomas Symonds mengatakan pemerintah akan meninjau kembali kerangka kerja undang-undang tersebut.

Baca Juga

"Jelas ada beberapa aspek dari Undang-Undang Keamanan Online yang belum berlaku. Kami siap untuk melakukan perubahan jika diperlukan," kata dia seperti dilansir Reuters, Sabtu (10/8/2024).

Wali Kota London, Sadiq Khan juga menilai bahwa Undang-Undang Keamanan Online perlu diubah setelah kerusuhan. "Saya pikir apa yang harus dilakukan pemerintah dengan sangat cepat adalah memeriksa apakah itu sesuai dengan tujuannya. Saya pikir itu tidak sesuai dengan tujuannya," kata Khan.

Undang-undang tersebut, yang disahkan pada Oktober namun tidak akan diberlakukan hingga awal tahun, memungkinkan pemerintah untuk memberi sanksi perusahaan media sosial hingga 10 persen dari omzet global jika terbukti melanggar.

Saat ini, perusahaan hanya akan dikenakan denda jika mereka gagal mengawasi konten ilegal, seperti hasutan untuk melakukan kekerasan atau ujaran kebencian.

Perubahan yang diusulkan dapat membuat perusahaan dikenakan sanksi jika mereka membiarkan konten legal namun berbahaya, seperti misinformasi berkembang.

Sementara itu, pada hari Jumat, lembaga jajak pendapat YouGov mempublikasikan sebuah survei terhadap lebih dari 2.000 orang dewasa, yang menemukan bahwa dua pertiga (66 persen) percaya bahwa perusahaan-perusahaan media sosial harus bertanggung jawab atas unggahan-unggahan yang menghasut perilaku kriminal.

Sebanyak 70 persen responden mengatakan bahwa perusahaan media sosial tidak cukup diatur dengan ketat, dan 71 persen mengatakan bahwa mereka tidak melakukan cukup banyak hal untuk melawan informasi yang salah ketika kerusuhan berlangsung.

Kerusuhan menyebar ke seluruh Inggris pekan lalu, usai beredar informasi palsu di media sosial bahwa tersangka penikaman tiga anak pada 29 Juli adalah seorang imigran Muslim. Ketika para perusuh bentrok dengan polisi di beberapa kota, pemilik X Elon Musk juga menggunakan platformnya untuk membagikan informasi yang menyesatkan kepada jutaan pengikutnya, termasuk satu unggahan yang menyatakan bahwa perang saudara "tidak dapat dihindari" di Inggris. Juru bicara Perdana Menteri Keir Starmer menegaskan tidak ada pembenaran untuk komentar semacam itu.

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement