Senin 12 Aug 2024 11:20 WIB

Pondok Boro, Wisma Para Perantau Seharga Rp 4.000 Per Malam

Meskipun murah, Pondok Boro tetap dirawat.

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Fernan Rahadi
Pondok Boro yang terletak di Pasar Johar, Semarang, Jawa Tengah.
Foto: Republika/Kamran Dikarma
Pondok Boro yang terletak di Pasar Johar, Semarang, Jawa Tengah.

REPUBLIKA.CO.ID, Selama puluhan tahun, Pondok Boro telah menjadi wisma bagi para perantau yang mengadu nasib di Pasar Johar, Semarang, Jawa Tengah (Jateng). Pondok tersebut menyewakan lapak tidur yang dapat dibayar per malam dengan harga terjangkau. Saat ini harganya Rp 4.000 per malam. 

Pada siang 30 Juli 2024 lalu, Republika menyambangi Pondok Boro yang terletak di Jalan Sumenuban RT03/05, Kelurahan Kauman, Semarang Tengah. Bangunan Pondok Boro berada di pinggiran Pasar Johar. Jika melihat kondisi bangunannya, kita bisa tahu bahwa ia sudah berdiri sejak beberapa dekade lalu. 

 

Ketika melangkahkan kaki ke dalam pondok, bangunannya tampak agak terbengkalai dengan cat pada tembok sudah kusam dan terkelupas. Tak ada langit-langit. Mata kita bisa langsung melihat kerangka dan formasi kayu yang menyangga rangkaian genteng. Kemudian terdapat beberapa dipan panjang tanpa kasur yang menjadi tempat tidur para penyewa. 

 

Kuli pasar, pedagang, dan pengasong termasuk di antara orang-orang yang menghuni Pondok Boro. Mbah Kalijan (70 tahun) adalah penghuni terlama dan tertua di Pondok Boro. "Saya di sini sejak 1973. Dulu (harga sewa per malam) masih sepuluh perak," ungkapnya ketika ditemui Republika. 

 

Pria kelahiran 1954 tersebut berasal dari Kebumen, Jateng. Sejak menjadi penghuni Pondok Boro pada 1973, Mbah Kalijan sudah menjadi pedagang rokok asongan. Dia masih mengingat masa-masa awal menyewa lapak tidur di Pondok Boro. 

 

"Dulu pas datang ke sini, tidak banyak (penghuninya), hanya 25 orang. Tapi waktu itu pernah sampai 200 orang. Lalu (penghuni) pada pindah setelah ada kebakaran (Pasar Johar)," kata Mbah Kalijan. 

photo
Suasana di Pondok Boro, Pasar Johar, Semarang, Jawa Tengah, Selasa (30/7/2024). - (Republika/Kamran Dikarma)

 

Pondok Boro memiliki panjang sekitar 60 meter dan lebar 20 meter. Sepengetahuan Mbah Kalijan, bangunan tersebut dulunya adalah gudang kapal dan kayu. Sebab dulu kapal-kapal masih mengarungi kanal di dekat Pasar Johar yang dikenal sebagai Kali Semarang. "(Pondok Boro) ini peninggalan Londo," ujar Mbah Kalijan. 

 

Meski sudah lebih dari lima dekade tinggal di Pondok Boro, Mbah Kalijan mengaku masih kerasan. Dia bahkan lebih memilih tetap mengasong serta tinggal di pondok tersebut daripada pulang ke rumahnya di Kebumen dan tinggal bersama keluarganya. "Saya punya tiga anak, tujuh cucu, dan satu cicit. Anak saya yang paling tua kerja di Jakarta dan dua lainnya kerja di kampung di Kebumen," ucapnya. 

 

Mbah Kalijan mengungkapkan, keluarganya pernah beberapa kali ke Pondok Boro untuk menengoknya. Namun mereka tidak menginap di sana, melainkan di rumah kerabat di Semarang. 

 

Di tengah-tengah obrolan dengan Mbah Kalijan, Sutrisno (50 tahun), turut membagikan ceritanya tinggal di Pondok Boro. Pria asal Sragen, Jateng, itu sudah menghuni Pondok Boro sejak 1996. Menurut dia, ketika pertama kali menyewa lapak tidur di Pondok Boro, kondisi bangunannya sudah seperti sekarang. "Harganya (sewa per malam) waktu itu Rp 300. Sekarang Rp 4.000," ungkapnya. 

 

Sehari-hari Sutrisno bekerja sebagai pedagang perkakas dan perabotan rumah tangga. Terkadang dia pun menyambi sebagai kuli. Sama seperti Mbah Kalijan, Sutrisno sebenarnya punya rumah di kampungnya. Namun dia memilih merantau karena merasa peluang mencari uang lebih baik di Semarang. 

 

Sutrisno mengaku betah tinggal di Pondok Boro karena mempunyai banyak teman yang sama-sama perantau. "Boro itu perantau. Pondok perantauan," ujar Sutrisno menjelaskan arti dari Pondok Boro. 

 

Dia menjelaskan, meski membayar murah, yakni Rp 4.000 per malam, Pondok Boro tetap dirawat. Setiap hari selalu ada dua tukang bersih-bersih yang menyapu lantai pondok. Lantai di Pondok Boro hanya plesteran semen dengan campuran batu kali. Jika atap bocor, perbaikan pun segera dilakukan. "Setiap malam juga selalu ada satu orang penjaga di sini," kata Sutrisno. 

 

Penjaga malam tersebut yang biasanya menceklis kertas berwarna kuning milik para penghuni sebagai tanda mereka bermalam. Meski disewakan per malam, banyak penghuni membayar sewanya per bulan, yakni sebesar Rp120 ribu. Saat ini Pondok Boro dihuni sekitar 100 orang. 

 

Sutrisno mengungkapkan, dia tidak mengenal siapa pemilik Pondok Boro. Dia hanya tahu bahwa pondok yang kini dihuninya dikenal sebagai "Pondok Boro Darmin". Kendati demikian, selalu ada pengelola yang datang mengontrol. "Paling (datang) sebulan sekali," ujarnya. 

photo
Suasana di dalam Pondok Boro, Pasar Johar, Semarang, Jawa Tengah, Selasa (30/7/2024). - (Republika/Kamran Dikarma)

 

Dia mengatakan, meski disewakan per malam, Pondok Boro tidak serta merta menerima penghuni baru. Hal itu guna mengantipasi tindakan kriminal. "Kalau tidak ada yang menjamin orang dalam, tidak bisa (menyewa) di sini. Harus ada kenalan," ungkap Sutrisno. 

 

Sutrisno menambahkan, bahwa Pondok Boro hanya dihuni laki-laki. Selain Sutrisno, Rusmin (50 tahun), juga sudah menjadi penghuni Pondok Boro sejak 1996. "Kalau saya sudah empat generasi (tinggal di Pondok Boro). Mbah saya, bapak saya, kakak saya, baru saya," kata Rusmin yang berasal dari Kebumen, Jateng. 

 

Menurut Rusmin, kakeknya menjadi penghuni Pondok Boro sebelum era kemerdekaan 1945. "Dulu mbah saya di sini sekitar sebelum kemerdekaan. Terus mbah saya meninggal, bapak saya (tinggal di Pondok Boro). Bapak saya meninggal, terus kakak saya. Kakak saya meninggal, terus saya," ucapnya. 

 

Di Pondok Boro terdapat dua kamar mandi yang biasa digunakan secara bergantian. Selain itu terdapat ruangan persegi berukuran dua kali dua meter yang terbuat dari kayu tripleks dan berfungsi sebagai mushala. Di sebelah mushala, terdapat sebuah dipan dengan panjang sekitar 2,5 meter. Di ujung dipan yang menempel ke tembok, terdapat sebuah televisi tabung berukuran 14 inci. Televisi tersebut boleh dibilang menjadi satu-satunya sarana hiburan para penghuni. 

 

Beberapa gubernur Jateng, termasuk Ganjar Pranowo, pernah mengunjungi Pondok Boro. Hal itu turut membuat Pondok Boro cukup dikenal. 

 

Republika sempat menyambangi kediaman ketua RW tempat Pondok Boro berlokasi. Namun dia menolak diwawancara soal Pondok Boro. Kendati demikian, dia mengaku tak mengetahui siapa pemilik bangunan tersebut. 

 

Pemerhati sejarah Kota Semarang, Johanes Christiono mengungkapkan, sejauh ini dia belum menemukan arsip atau literatur sejarah yang menjelaskan kapan Pondok Boro dan apa fungsinya pada masa silam. "Di buku Riwayat Semarang (karya Liem Thian Joe) juga tidak ada (penjelasan tentang bangunan Pondok Boro)," ujarnya saat dihubungi via telepon. 

 

Namun melihat dari konstruksi dan model bangunannya, Johanes menduga bangunan yang sekarang dikenal sebagai Pondok Boro dibangun pada tahun 1800-an. Artinya bangunan tersebut lebih tua dibandingkan Pasar Johar. Sebab Pasar Johar baru terbentuk pada 1930-an. 

 

Kendati demikian, kawasan Pasar Johar sejak dulu sudah menjadi pusat aktivitas ekonomi dan perdagangan. "Karena lokasinya berada di tepi Kali Semarang. Kali Semarang kan dulu urat nadi ekonomi yang penting," ujar Johanes. 

 

Menurut Johanes, Pondok Boro memiliki arti penginapan murah. "Boro kan istilah umum. Kalau kita merantau di mana, kita nginep, itu kan boro. Penginapan umum yang murah," ucapnya. 

 

Selama berdekade-dekade, Pondok Boro telah menjadi tempat bernaung bagi para perantau dan pengadu nasib. Bagi mereka, tak masalah kondisi bangunan agak terbengkalai. Yang terpenting mereka dapat merebahkan badan dan menjemput lelap setelah seharian mengais uang. 

 

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
وَاِذْ قَالَ اِبْرٰهٖمُ رَبِّ اَرِنِيْ كَيْفَ تُحْيِ الْمَوْتٰىۗ قَالَ اَوَلَمْ تُؤْمِنْ ۗقَالَ بَلٰى وَلٰكِنْ لِّيَطْمَىِٕنَّ قَلْبِيْ ۗقَالَ فَخُذْ اَرْبَعَةً مِّنَ الطَّيْرِفَصُرْهُنَّ اِلَيْكَ ثُمَّ اجْعَلْ عَلٰى كُلِّ جَبَلٍ مِّنْهُنَّ جُزْءًا ثُمَّ ادْعُهُنَّ يَأْتِيْنَكَ سَعْيًا ۗوَاعْلَمْ اَنَّ اللّٰهَ عَزِيْزٌحَكِيْمٌ ࣖ
Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata, “Ya Tuhanku, perlihatkanlah kepadaku bagaimana Engkau menghidupkan orang mati.” Allah berfirman, “Belum percayakah engkau?” Dia (Ibrahim) menjawab, “Aku percaya, tetapi agar hatiku tenang (mantap).” Dia (Allah) berfirman, “Kalau begitu ambillah empat ekor burung, lalu cincanglah olehmu kemudian letakkan di atas masing-masing bukit satu bagian, kemudian panggillah mereka, niscaya mereka datang kepadamu dengan segera.” Ketahuilah bahwa Allah Mahaperkasa, Mahabijaksana.

(QS. Al-Baqarah ayat 260)

Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement