REPUBLIKA.CO.ID, TOKYO -- Badai yang bergerak lambat menjatuhkan hujan deras di wilayah utara Jepang. Badai Maria meluapkan sungai-sungai, memaksa warga dievakuasi ke tempat penampungan, dan mengganggu lalu lintas di pekan liburan agama Buddha di Jepang.
Badai Maria itu sudah mulai melemah dengan kecepatan angin sekitar 72 kilometer per jam. Badai itu tiba di dekat Kota Ofunato dekat Prefektur Iwate pada Senin (12/8/2024) pagi. Badan Meteorologi Jepang (JMA) memperkirakan badai akan terus bergerak melintasi wilayah Tohoku saat bergerak ke barat laut dengan kecepatan 20 kilometer per jam.
Badan Pemadam Kebakaran dan Penanggulangan Bencana mengatakan sejauh ini belum ada laporan korban luka atau kerusakan. Tapi pihak berwenang memperingatkan resiko banjir dan longsor di daerah yang jarang dihantam badai.
Pihak berwenang juga menyarankan 170 ribu warga di Iwate dan prefektur tetangganya Aomori dan Miyagi untuk pindah ke tempat penampungan sementara. Prefektur Iwate menyatkan pada Senin pagi sudah sekitar 2.000 orang mengungsi ke tempat penampungan sementara.
Perdana Menteri Fumio Kishida berjanji pemerintah akan segera memberikan informasi dan bantuan pada warga yang terdampak. Pemerintah prefektur mulai melakukan pelepasan air terkendali ke sungai agar air di bendungan terus mengalir.
Pemerintah daerah itu meminta sekitar 8.300 warga pinggir sungai di Kota Osanai dan Kuji mengungsi ke tempat penampungan sementara karena kemungkinan banjir akibat pelepasan itu. Selama dua hari curah hujan di Kota Kuji di Iwate diguyur mencapai 46 sentimeter. Diperkirakan hujan hingga 25 sentimeter masih mengguyur kota itu hingga Selasa (13/8/2024).
Rekaman gambar stasiun televisi NHK menunjukkan air berlumpur mengalir deras di sungai yang meluap di Kota Iwaizumi, di mana sembilan orang tewas setelah badai menyebabkan banjir di panti wreda pada 2016 lalu. Badai tahun ini merupakan badai pertama yang menghantam Tohoku sejak 2016.
Pada stasiun televisi NHK, seorang perempuan mengatakan ia segera mengungsi ke tempat penampung sementara setelah mengambil pelajaran dari badai terakhir yang menghancurkan rumahnya. Badai berdampak pada lalu lintas selama musim liburan Obon di mana masyarakat mengenang leluhur mereka. Sejumlah kereta perjalanan lokal ditangguhkan dan penerbangan di sejumlah bandara dibatalkan atau ditangguhkan.