REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dari sekian banyak pokok bahasan keislaman, hijab atau jilbab merupakan salah satu tema yang sering dibahas. Ada yang memandang persoalan jilbab melalui pintu literal semata. Dalam arti, bagi yang berpandangan seperti ini, apa-apa yang tercantum dalam Alquran dan hadis wajib hukumnya dilaksanakan.
Husein Shahab tampaknya dapat dijadikan contoh kelompok ini. Dalam kata pengantar bukunya, Jilbab Menurut Alquran dan As-Sunnah, ia mengatakan, "Jilbab adalah satu hukum yang tegas dan pasti yang seluruh wanita Muslim diwajibkan Allah SWT untuk mengenakannya. Melanggar atau tidak mengakuinya berarti mengingkari salah satu hukum Islam yang esensial."
Kelompok kedua melihat jilbab melalui pintu mistikisme. Kelompok ini meletakkan jilbab sebagai sebuah pengalaman keagamaan melalui ibadah-ibadah ritual. Sedapat mungkin mereka menjalani hidup sesuai dengan apa-apa yang diyakini dapat mendekatkan diri kepada Tuhan.
Menurut Dedy Mulyana dalam Islam: Antara Simbol dan Identitas, pemakaian jilbab yang dilandasi pengalaman keagamaan merupakan cermin dari inner-states yang tulus. Jilbab di sini bukan instrumen untuk menyenangkan orang lain atau sekadar memenuhi persyaratan masuk ke dalam sebuah institusi. Namun, ini sebagai perwujudan rasa nyaman yang subjektif.
Tema tentang jilbab dan pengalaman keagamaan ini dikupas lebih mendalam oleh Murtadha Muthahhari dalam bukunya, Hijab Gaya Hidup Wanita Muslimah. Menurutnya, pemakaian hijab untuk memberikan kenyamanan diri sudah dipraktikkan sejak zaman pra-Islam atau jauh sebelum Nabi Muhammad SAW lahir.
Ini dapat dijumpai di peradaban-peradaban India, Persia, dan Yunani kuno. Pada masyarakat India kuno, misalnya, motif pemakaian hijab ialah kecenderungan ke arah kerahiban. Ini sebuah perjuangan melawan kesenangan dan menaklukkan ego diri.
Murtadha menengarai, praktik pemakaian hijab berasal dari India. Kelompok agamawan setempat membuat batas antara wanita dan pria dalam rangka kerahiban. Konsep ini, menurutnya, lantas berkembang dalam tradisi Yahudi dan Kristen.
Adapun pemakaian hijab di Persia lebih didasari alasan sosial. Pada zaman dahulu, jaminan keamanan untuk wanita dan anak-anak sangat kurang. Will Durrant dalam buku History of Western Civilization menulis ihwal situasi di zaman Iran kuno.
Menurutnya, hijab sudah menjadi tradisi di Iran sejak zaman lampau. Apa-apa yang biasa ditemui pada kaum wanita Iran sekarang pada dasarnya berhubungan dengan Iran pra-Islam, bukan Iran setelah Islam.
Pada masa kekuasaan Imperium Sassaniyah, jika seorang raja atau pangeran mendengar kecantikan seorang wanita, ia pasti mencari dan membawanya. Gagasan mengenai hijab di Iran ketika itu berkaitan erat dengan kehormatan seorang wanita yang harus dijaga dari pria lain yang mengintainya.