Kamis 15 Aug 2024 08:07 WIB

Jilbab Dalam Peradaban Pra-Islam

Kain ini sudah dipakai perempuan sejak zaman India, Persia, dan Yunani Kuno.

Red: Hasanul Rizqa
ILUSTRASI Karyawan menyelesaikan pembuatan jilbab lukis produksi Nasrafa di Sentra IKM (Industri Kecil Menengah) Semanggi Harmoni Solo, Jawa Tengah.
Foto: Antara/Maulana Surya
ILUSTRASI Karyawan menyelesaikan pembuatan jilbab lukis produksi Nasrafa di Sentra IKM (Industri Kecil Menengah) Semanggi Harmoni Solo, Jawa Tengah.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dari sekian banyak pokok bahasan keislaman, hijab atau jilbab merupakan salah satu tema yang sering dibahas. Ada yang memandang persoalan jilbab melalui pintu literal semata. Dalam arti, bagi yang berpandangan seperti ini, apa-apa yang tercantum dalam Alquran dan hadis wajib hukumnya dilaksanakan.

Husein Shahab tampaknya dapat dijadikan contoh kelompok ini. Dalam kata pengantar bukunya, Jilbab Menurut Alquran dan As-Sunnah, ia mengatakan, "Jilbab adalah satu hukum yang tegas dan pasti yang seluruh wanita Muslim diwajibkan Allah SWT untuk mengenakannya. Melanggar atau tidak mengakuinya berarti mengingkari salah satu hukum Islam yang esensial."

Baca Juga

Kelompok kedua melihat jilbab melalui pintu mistikisme. Kelompok ini meletakkan jilbab sebagai sebuah pengalaman keagamaan melalui ibadah-ibadah ritual. Sedapat mungkin mereka menjalani hidup sesuai dengan apa-apa yang diyakini dapat mendekatkan diri kepada Tuhan.

Menurut Dedy Mulyana dalam Islam: Antara Simbol dan Identitas, pemakaian jilbab yang dilandasi pengalaman keagamaan merupakan cermin dari inner-states yang tulus. Jilbab di sini bukan instrumen untuk menyenangkan orang lain atau sekadar memenuhi persyaratan masuk ke dalam sebuah institusi. Namun, ini sebagai perwujudan rasa nyaman yang subjektif.