Kamis 15 Aug 2024 10:55 WIB

BPOM Sebut 7 Penyakit Terkait BPA pada Galon Guna Ulang

Pemerintah mengantisipasi dampak kesehatan dengan kebijakan pelabelan BPA.

Ilustrasi galon guna ulang.
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Ilustrasi galon guna ulang.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Pelaksana Tugas Deputi Bidang Pengawasan Pangan Olahan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), Ema Setyawati, menyebut ada tujuh penyakit yang berkorelasi dengan risiko kontaminasi senyawa kimia Bisfenol A (BPA) pada galon guna ulang, sebutan populer untuk galon air minum bermerek yang paling banyak dikonsumsi masyarakat.

"Beberapa penelitian menunjukkan bahwa ada risiko kesehatan yang ditimbulkan akibat paparan BPA melalui mekanisme endocrine disruptor, khususnya hormon estrogen," kata Ema melalui keterangan tertulis, Kamis (15/8/2024).

Baca Juga

Ema merinci ketujuh penyakit tersebut termasuk gangguan sistem reproduksi baik pria maupun wanita, diabetes dan obesitas, gangguan sistem kardiovaskular, gangguan ginjal, kanker, gangguan perkembangan kesehatan mental dan Autism Spectrum Disorder (ASD) pada anak.

Ema menyatakan pemerintah mengantisipasi dampak kesehatan tersebut dengan mengeluarkan kebijakan pelabelan BPA. "Berdasarkan risiko kesehatan, jumlah konsumsi, dan data produk beredar, BPOM memandang perlu untuk segera melakukan pengaturan label Air Minum Dalam Kemasan," katanya.

Pada 5 April 2024, BPOM mengesahkan penambahan dua pasal baru pada peraturan tentang Label Pangan Olahan, yakni kewajiban pencantuman label cara penyimpanan air minum kemasan (Pasal 48a) dan kewajiban pencantuman label peringatan risiko BPA pada semua galon air minum bermerek yang menggunakan kemasan polikarbonat (Pasal 61A).

Nantinya, saat masa tenggang (grace periode) penerapan aturan tersebut berakhir pada 2028, produsen yang menggunakan kemasan polikarbonat wajib menerakan label peringatan "Dalam kondisi tertentu, kemasan polikarbonat dapat melepaskan BPA pada air minum dalam kemasan".

Bahaya Galon Guna Ulang

Masih dalam wawancara yang sama, Ema menyatakan mayoritas kemasan galon bermerek yang beredar di tengah masyarakat berbahan polikarbonat, jenis plastik keras yang pembuatannya menggunakan BPA sebagai bahan baku. Galon dengan kemasan plastik polikarbonat tersebut juga umumnya didistribusikan dengan sistem ‘guna ulang’, di mana produsen rutin menarik kembali galon kosong untuk dibersihkan di pabrik sebelum diisi dan dipasarkan kembali.

Kontaminasi BPA pada galon guna ulang, lanjutnya, berpotensi terjadi bila proses pencucian dan distribusi galon "tidak tepat", semisal saat produsen menyemprot galon bekas dengan suhu tinggi, menggunakan deterjen atau menggosok bagian dalam galon hingga tergores serta membiarkan galon terpapar sinar matahari langsung dalam waktu yang lama saat pengantaran ke konsumen.

"Penggunaan berulang dari kemasan galon tersebut dapat berpotensi terjadinya migrasi/pelepasan BPA," katanya.

Hal senada diungkap sebelumnya oleh peneliti polimer dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Dr. Akbar Hanif Dawam Abdullah. Menurut Akbar, meskipun penggunaan BPA pada galon polikarbonat menjadikan galon kuat dan tahan panas, tetap ada potensi migrasi BPA dari kemasan ke air minum. "Selama bahan kemasan dibuat dari polimer polikarbonat, potensi migrasi BPA dipastikan tetap ada. BPA bisa masuk ke dalam tubuh dan mengganggu fungsi kerja hormon," katanya.

Karena itulah, Ema mendesak industri melakukan "monitoring mandiri secara berkala" terhadap persyaratan keamanan dan kemasan pangan dan menerapkan cara produksi pangan olahan yang baik (CPPOB) secara konsisten.

Dalam peraturan Label Pangan Olahan, BPOM mewajibkan produsen galon bermerek mematuhi ambang batas aman migrasi BPA dari kemasan polikarbonat sebesar 0,6 mg per kg. Riset komprehensif BPOM kurun 2021-2022 mendapati peluruhan BPA pada galon air minum dengan kemasan plastik polikarbonat "menunjukkan kecenderungan yang mengkhawatirkan", dengan lima provinsi tercatat memiliki angka migrasi BPA melampaui ambang batas aman.

Sebelumnya, pakar epidemologi Universitas Indonesia, Pandu Riono, menyatakan BPA sejak lama telah diklasifikasikan sebagai bahan kimia pengganggu endokrin, sistem kekebalan dalam tubuh. Menurutnya, BPA bisa memunculkan efek kesehatan pada semua lapisan kalangan umur, termasuk atas janin pada periode prenatal. "Industri yang menggunakan wadah produk makanan dan minuman dari plastik yang mengandung BPA diminta untuk beralih ke wadah yang lebih aman dan bebas BPA," pungkasnya.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement