Jumat 16 Aug 2024 09:31 WIB
NIKMAT MERDEKA

Pulau Pari tak Seindah Dulu

Pulau Pari semakin sering dihantam banjir rob dan cuaca ekstrem.

Rep: Lintar Satria/ Red: Satria K Yudha
Wisatawan menikmati keindahan alam Pulau Pari, di Kabupaten Kepulauan Seribu, Jakarta, Rabu (12/7/2023).
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Wisatawan menikmati keindahan alam Pulau Pari, di Kabupaten Kepulauan Seribu, Jakarta, Rabu (12/7/2023).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kehidupan warga pesisir di Pulau Pari, Kepulauan Seribu, tak lagi seindah dahulu. Warga Pulau Pari kini semakin kesulitan mencari ikan akibat perubahan iklim. Tempat tinggal mereka juga terancam akibat abrasi.

Asmania, salah satu warga Pulau Pari, mengisahkan bahwa warga di Pulau Pari kian terdampak perubahan iklim. Asmania mengatakan kini banyak jenis ikan yang hilang dari perairan.

"Dulu kami membudidayakan rumput laut, tapi sekarang karena perubahan iklim, jangankan memanen rumput laut, (sekarang) selama satu pekan kami menanam, seminggu saja sudah putih rumput laut kami, itu karena panasnya air laut," kata Asmania.

Asmania mengatakan, dahulu para nelayan Pulau Pari dapat memprediksi musim. Mereka membaginya menjadi tiga: Baratan, Timur dan Peneduh. Tapi kini musim semakin sulit diprediksi.

"Suami dulu bisa menghasilkan 50 kilogram, 70 kilogram, dalam satu hari saja cepat, tapi sekarang mendapatkan 20- 30 kilogram ikan saja susah," katanya.

Pulau Pari merupakan salah satu pulau kecil di Kepulauan Seribu yang luasnya tidak lebih dari 42 hektare. Pulau ini dihuni lebih dari 400 keluarga yang rata-rata bekerja sebagai nelayan dan atau pegiat pariwisata.

Sejak lama, Pulau Pari terdampak oleh krisis iklim. Pulau Pari semakin sering dihantam banjir rob, kenaikan air laut, cuaca ekstrem, serta tingginya gelombang. Semuanya telah memperburuk kehidupan sosial ekonomi masyarakat Pulau Pari.

Walhi bersama lembaga yang berada di Zurich, Swiss, HEKS mengkalkulasi hilangnya luasan Pulau Pari sebesar 11 persen atau seluas 4,6 hektare. Sebelumnya, Pulau Pari tercatat seluas 42 hektare. Namun kini hanya tinggal persen 41,4 hektare.

Dampak lainnya dari krisis iklim di Pulau Pari adalah hilangnya hasil tangkapan ikan secara drastis, dimana laut saat ini sudah tidak lagi bersahabat. Nelayan telah kehilangan tangkapan lebih dari 70 persen jika dibandingkan dengan sebelum terdampak krisis iklim.

photo
Suasana di Pulau Pari, Kepulauan Seribu, Jakarta, Ahad (7/7/2024. - (Lintar Satria )

Krisis iklim juga memicu banyak jenis ikan laut, di antaranya ikan kerapu dan ikan cakalang, sulit ditemukan karena temperatur laut yang semakin menghangat. Lebih jauh, krisis iklim telah menyebabkan banjir rob semakin sering terjadi di Pulau Pari. Akibatnya, banyak wisatawan yang membatalkan kunjungan wisatanya.

“Situasi tersebut menjadi pukulan keras bagi ekonomi kami yang tergantung pada sektor perikanan dan pariwisata yang selama ini menjadi income utama Pulau Pari,” kata Ketua Forum Peduli Pulau Pari, Mustaghfirin.

Melihat dampak perubahan iklim pada masyarakat Pulau Pari, Dompet Dhuafa bekerja sama dengan WALHI menjalankan kerja sama perlindungan, pemulihan dan pelestarian pesisir serta pulau kecil di seluruh wilayah Indonesia. Kerja sama ini diawali dengan penanaman 1.000 mangrove di Pantai Rengge di Pulau Pari, Jakarta.

Kerja sama ini dibangun dalam rangka menginisiasi gerakan kolaborasi untuk menguatkan serta mendukung penguatan kampanye advokasi lingkungan hidup guna mendapatkan dukungan publik seluas-luasnya. Adapun isu kunci yang menjadi arus utama dalam kerja sama ini adalah perlindungan dan pemulihan lingkungan hidup, khususnya di pesisir-pulau kecil; mitigasi dan adaptasi krisis iklim; dan konservasi alam di wilayah Indonesia.

Deputi Direktur 1 Program Sosial Budaya Dompet Dhuafa Juperta Panji Utama mengatakan, letak Pulau Pari sangat dekat dengan pusat pemerintahan. “Jika kebijakan yang dekat dengan pusat kebijakan saja tidak berpihak pada kepentingan masyarakat bisa dibayangkan mungkin ada hal-hal serupa di tempat yang lebih jauh lagi,” tegasnya.

Panji mengatakan abrasi pantai-pantai di Pulau Pari sudah sangat tinggi. Panji mengatakan kerja sama dengan Walhi untuk pengendalian abrasi pesisir Utara Laut Jawa ini dilakukan selama lima tahun.

“Setiap tahun kami evaluasi, kalau bisa kerja samanya terus, tapi kita jangan terbatas pada waktu tapi pada bagaimana kami mencapai tujuan-tujuan yang ingin kami capai,” kata Panji.

Direktur Eksekutif Walhi Nasional Zenzi Suhadi mengatakan kerja sama ini merupakan persatuan antara dua gerakan yang memobilisasi nilai dan moral kemanusiaan dan gerakan yang melindungi memajukan hak manusia atau lingkungan.

photo
Walhi dan Dompet Dhuafa menjalin kerja sama pengendalian abrasi pesisir Laut Jawa. - (Lintar Satria)

Zenzi mengatakan filosofi Dompet Dhuafa yang ia tangkap adalah menghimpun dan mengarahkan sumber daya manusia untuk memelihara dan memajukan nilai-nilai moral kemanusiaan dan lingkungan.

“Kami memaknai pertemuan dua organisasi ini sebagai perkawinan antara dua anggota gerakan yang memobilisasi nilai dan moral kemanusiaan dan gerakan yang melindungi memajukan hak manusia atau lingkungan. Maka kita akan melahirkan satu hal bahwasannya orang lahir dimanapun, berdiri di pulau manapun dia mempunyai hak terhadap semua yang ada di muka bumi ini,” tambahnya.

Panji mengatakan penanaman 1.000 mangrove ini merupakan langkah awal. Ia berharap semakin banyak pohon mangrove yang dapat ditanam di pinggir pantai-pantai Pulau Pari. Ia mengusulkan untuk menawarkan wisatawan membeli pohon mangrove untuk mereka tanam di Pulau Pari.

"Saya ingin mengajak masyarakat kalau mengadakan program selalu mengatakan keterbatasan dana, padahal potensi masyarakat ada, kalau masyarakat bersatu, padu saya rasa itu bisa diimplementasikan, ini wacana bagaimana kami menggulirkan bagaimana caranya menghidupkan potensi yang ada masyarakat," katanya.

 

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement