REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Biang kerok kehancuran bangsa hingga peradaban adalah korupsi. Penyakit kronis ini dapat menjalar ke berbagai lini kehidupan, merusak mentalitas seseorang dengan cepat. Sebab dengan korupsi, seseorang cepat menjadi kaya.
Dengan menilap uang banyak orang, maka insan yang tadinya tak berlimpah berharta, mendadak menjadi tajir melintir. Cukup dengan meminta persentase keuntungan besar dari suatu transaksi sehingga mengakibatkan kualitas produk rusak, orang mendapatkan jatah materi dengan melukai kepuasan konsumen. Dengan mengurangi spesifikasi produk yang telah disepakati, seseorang bisa mendapatkan harta, sedikit atau banyak, tapi lagi-lagi, dengan mengorbankan kepuasan konsumen.
Begitulah korupsi dijalankan orang-orang culas, apapun profesinya, jabatannya. Tak peduli bagaimana kualitas dan kebahagiaan orang banyak, yang diutamakan adalah kepuasan dan terpenuhinya hasrat beberapa atau sekelompok orang. Yang ada di benak pelaku koruptor bukanlah keberlangsungan suatu bangsa, tapi diri dan kelompoknya yang jumlahnya sangat kecil bila dibandingkan dengan total seluruh warga bangsa.
Mengapa korupsi cepat menular dan kronis?
Hasil yang didapat sangat menggiurkan. Sekali berhasil melakukan, maka akan mengulangi lagi sampai tiada henti. Meski harta yang didapat sudah banyak, tetap saja dia akan terus korupsi, karena tidak pernah merasa puas.
Syarat melakukan korupsi yang sukses adalah dengan mengabaikan akhlak, mengecilkan orang lain, membisukan suara hati, mengesampingkan agama, bahkan menganggap Tuhan tidak ada. Dirinya bersama jejaring koruptor lengkap dengan nafsu serakah adalah timnya, yang ada dan saling menguatkan.
Begitulah yang terjadi suatu hari pada masa Umar bin Abdul Aziz [abad ke-8 M] menjadi khalifah. Seorang penjaga Baitul Mal memberikan perhiasan emas kepada putri sang khalifah. Entah apa maksud si penjaga Baitul Mal melakukan itu. Apakah dia ingin supaya jabatannya dinaikkan, ingin supaya tidak diganggu sehingga bisa korupsi berapapun, atau apa?
Terlepas dari apa motivasi si penjaga tadi, si putri khalifah senang bukan kepalang. Tak menyangka bisa mendapatkan dan memakai aksesoris yang mempercantik penampilannya.
Dia pun menunjukkan perhiasan itu kepada sang ayah. Menyaksikan perhiasan menggantung di busana sang anak, Umar bin Abdul Aziz bertanya, bagaimana bisa mendapatkan barang duniawi tersebut. Dengan mudahnya, si anak mengatakan, didapat dari penjaga baitul mal.
“Takutlah wahai anakku. Di akhirat kelak, kamu akan membawa harta itu ke hadapan Allah untuk mempertanggungjawabkannya. Aku akan selidiki siapa yang memberikan perhiasan itu,” kata Umar.
Kemudian dia mengutip Surah Ali Imran ayat 161,
وَمَا كَانَ لِنَبِىٍّ أَن يَغُلَّ ۚ وَمَن يَغْلُلْ يَأْتِ بِمَا غَلَّ يَوْمَ ٱلْقِيَٰمَةِ ۚ ثُمَّ تُوَفَّىٰ كُلُّ نَفْسٍ مَّا كَسَبَتْ وَهُمْ لَا يُظْلَمُونَ
wa mā kāna linabiyyin ay yagull, wa may yaglul ya`ti bimā galla yaumal-qiyāmah, ṡumma tuwaffā kullu nafsim mā kasabat wa hum lā yuẓlamụn
Tidak mungkin seorang nabi berkhianat dalam urusan harta rampasan perang. Barangsiapa yang berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu, kemudian tiap-tiap diri akan diberi pembalasan tentang apa yang ia kerjakan dengan (pembalasan) setimpal, sedang mereka tidak dianiaya.
Tafsir ayat tersebut adalah sebagai berikut
Lihat halaman berikutnya >>>