REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sosok pahlawan RI yang juga tokoh utama Nahdlatul Ulama (NU), Hadratus Syekh Hasyim Asy'ari, dibesarkan dalam keluarga alim ilmu-ilmu agama. Ayahnya, Kiai Asy'ari, merupakan pendiri Pesantren Keras di Jombang (Jawa Timur). Kakeknya, Kiai Usman, adalah pengasuh Pesantren Gedang, yang berdiri sejak akhir abad ke-19 M. Adapun kakek buyutnya, Kiai Sihah, merupakan pendiri Pesantren Tambakberas.
Sejumlah pesantren pernah menjadi tempatnya menimba ilmu. Sebut saja Pesantren Wonokoyo (Probolinggo), Pesantren Langitan (Tuban), Pesantren Trenggilis, Pesantren Kademangan (Madura), dan Pesantren Siwalan Panji (Sidoarjo). Bahkan, kakek mantan presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) itu cukup lama mendalami ilmu agama di Tanah Suci.
Salah seorang gurunya di Tanah Suci Makkah al-Mukarramah, yakni Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi (wafat 1916), adalah orang Indonesia pertama yang menjadi imam sekaligus khatib di Masjidil Haram. KH Hasyim Asy'ari tentunya tidak sendirian. Ada cukup banyak orang Jawi (Melayu) yang berguru kepada sang pakar mazhab Imam Syafii itu.
Di antaranya adalah KH Ahmad Dahlan, yang kemudian mendirikan Muhammadiyah di Yogyakarta. Setidaknya, keduanya sudah akrab sejak sama-sama berguru kepada KH Sholeh Darat di Semarang.
Syekh Ahmad Khatib merupakan ulama yang berpandangan modern. Dia mendorong setiap muridnya bersikap terbuka terhadap kritik sekaligus teguh berjati diri Muslim di hadapan penguasa. Memasuki abad ke-20, mayoritas umat Islam sedunia menghadapi tantangan eksternal, dominasi kolonialisme Barat, dan internal yakni kejumudan.
Selama di luar negeri, KH Hasyim Asy'ari giat menggali ilmu-ilmu dari banyak ulama, baik itu yang tradisionalis maupun progresif. Karena itu, sepulangnya ke Tanah Air, wawasannya kian luas dan semakin arif bijaksana.
Buku Cahaya dan Persatuan karya Dandang A Dahlan mencatat satu kisah teladan tentang ini. Suatu kali, KH Hasyim Asy'ari pernah menulis sebuah buku berjudul Kafful 'Awami 'ani Khaudhi fi Syirkatil Islam. Isinya menjabarkan pandangannya yang kritis terhadap Sarekat Islam (SI). Rupanya, waktu itu, kakek presiden keempat RI KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) itu termasuk kalangan ulama yang menilai SI sebagai sebuah bidah sehingga ingin agar umat menjauhi organisasi itu.
Singkat cerita, buku tersebut sampailah di tangan gurunya, Syekh Ahmad Khatib di Makkah. Sang imam Masjidil Haram merepsonsnya dengan menulis buku pembelaan berjudul Tanbih al-Aman fi ar-Radd 'ala Risalah "Kafful 'Awami 'ani Khaudhi fi Syirkatil Islam". Kitab yang terbit di Mesir pada 1914 itu akhirnya beredar di Jawa.
Sesudah membaca dengan cermat Tanbih al-Aman, KH Hasyim Asy'ari mengirimkan surat kepada Syekh Ahmad Khatib. Isinya antara lain mengakui kekeliruan perspektifnya terhadap SI. Bahkan, belakangan tokoh dari Tebuireng itu memberikan dukungan moril kepada organisasi pimpinan HOS Tjokroaminoto tersebut. Inilah buah korespondensi guru-murid yang mulanya berseberangan pandangan, tetapi kemudian sevisi tentang suatu hal.