REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dalam artikelnya, “Apa Sebab Turki Memisah Agama dan Negara”, Sukarno mengkritik kemunduran Kekhilafahan Utsmaniyyah. Menurutnya, fenomena itu disebabkan pemerintah setempat mencampur-baurkan antara persoalan agama dan politik, sehingga menghalangi kemajuan rakyat.
Hal itu dibantah A Hassan, ulama Persatuan Islam (Persis). Menurut dia, surutnya pengaruh Islam di Turki boleh jadi karena pemerintah setempat menjadikan Islam hanya sebagai hiasan, tanpa sungguh-sungguh melaksanakan syariat agama tersebut.
Silang pendapat via media massa itu berlanjut dengan korespondensi ketika Sukarno dibuang oleh Belanda ke Ende, Flores (Nusa Tenggara Timur). Untuk diketahui, secara personal Hassan dan Sukarno menjalin persahabatan yang erat. Mereka saling peduli dan respek. Demikian halnya antara Natsir dan Sukarno.
Hal itu terbukti antara lain ketika pada 1930 Belanda menahan Sukarno di Penjara Sukamiskin, Bandung. Hassan sering menjenguknya; kadang kala ditemani Natsir. Barangkali, ada komunikasi antara Hassan dan Sukarno, sehingga kelak dalam autobiografinya—yang ditulis Cindy Adams—Sukarno mengatakan, “Di dalam penjaralah aku menjadi penganut Islam yang sebenarnya.”
Penahanan Sukarno merupakan peristiwa yang menggemparkan kalangan nasionalis—baik itu kubu sekular maupun agama. Mereka kian meningkatkan perlawanan terhadap pemerintah kolonial.