REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketika menaklukkan Jayakarta pada Maret 1619 dan mendirikan Batavia, gubernur jenderal Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) Jan Pieterszoon Coen bercita-cita menjadikannya kota bagi warga Belanda. Ia mengusir penduduk setempat dan membangun benteng-benteng pertahanan yang ditandai dengan jalan yang kini disebut Pintu Besar dan Pintu Kecil.
Pada abad ke-18 M, kota berbenteng ini mendapat julukan “Ratu dari Timur”. Namun, sewaktu kota ini menjadi tidak sehat akibat wabah penyakit yang menelan banyak korban jiwa, gubernur jenderal Hindia Belanda Herman Willem Daendels memindahkan pusat kota ke wilayah selatan yang disebut Weltevreden. Warga Belanda pun beramai meninggalkan “kota lama” di Pasar Ikan.
Rijswijk (kini Jalan Veteran) dan Noordwijk (Jalan Juanda) lantas menjadi kawasan paling elite di Batavia. Kedua jalan diapit sodetan Kali Ciliwung yang memanjang hingga Pasar Baru dan Jalan Pintu Air. Pada pinggirnya masing-masing, terdapat sejumlah hotel cukup baik, tempat hiburan, dan toko serba ada.
Ketika Inggris menguasai Hindia Belanda antara tahun 1811 dan 1816, gubernur jenderal Thomas Stamford Raffles menyulap kedua jalan yang kini terdapat Istana Negara itu menjadi kawasan Eropa. Ia juga mengusir penduduk pribumi.
Raffles sendiri berdiam di Rijswijk yang kemudian oleh Sukarno, presiden pertama RI, dijadikan Markas Tjakrabirawa. Belakangan pada zaman presiden Soeharto, lokasi itu dijadikan Bina Graha.
Presiden Sukarno ingin membangun pusat kota yang baru dengan memusatkannya di Jalan Thamrin dan Sudirman. Ini dimulai saat berlangsungnya Asian Games tahun 1962. Bung Karno sekaligus ingin menjadikan Kota Jakarta dengan membangunnya secantik dan semodern mungkin.
Dia bertekad agar Jakarta yang telah menjadi pusat perjuangan rakyat Indonesia akan menjadi inspirasi dan mercusuar bagi perjuangan umat manusia. Kala itu, Wisma Nusantara yang berlantai 29 merupakan gedung pencakar langit tertinggi di kota ini.
Namun, gedung ini baru diresmikan dan diselesaikan berdirinya pada masa Soeharto. Bung Karno menganggap bahwa bangunan merupakan esensi dari kepercayaan dan kebanggan bangsa.
Saat Bung Karno membangun Tugu Monas setinggi 132 meter, ada pihak yang mengkritik karena biayanya mahal. Sang kepala negara dengan tegas menjawab. “Tidak, Saudara-saudara! Kita tidak membangun Monumen Nasional yang bernilai setengah juta dolar AS hanya untuk membuang uang. Kita membuat ini karena menyadari sebuah bangsa yang hebat, dalam hasratnya ada kebutuhan yang absolut, dan untuk kehebatan harus disimbolkan dengan sebuah benda materiil, sebuah benda yang hebat, bahkan yang kadang akan membuka mata dari bangsa-bangsa lain dengan penuh kekaguman” (Farabi Fakih, Jakarta di Bawah Soekarno).
Monas terletak di lapangan yang pada masa Belanda dinamakan Koningsplein. Kini, itu menjadi salah satu tempat wisata favorit dan sekaligus sebagai simbol perjuangan bangsa Indonesia.
Kalau sekarang di Jalan Thamrin dan Sudirman berdiri ratusan gedung pencakar langit, Bung Karno pada 1960-an telah menetapkan kedua jalan tersebut paling rendah harus dibangun gedung berlantai lima.
Menjelang Asian Games 1962, ia telah membangun Hotel Indonesia (HI), hotel tertinggi dan termewah ketika itu. Adapun Hotel des Indes di Jalan Gajah Mada sudah berganti nama menjadi Hotel Duta Indonesia. Kemudian, menjadi pertokoan Duta Merlin, tempat belanja golongan atas.
Selain itu, adanya HI, hotel berbintang lima dengan bagian depannya terdapat air mancur. Bunderan HI kini merupakan tempat favorit masyarakat, termasuk untuk berdemo menyuarakan berbagai persoalan dan unek-uneknya.
Proyek raksasa lainnya di masa Sukarno adalah Masjid Istiqlal di Jalan Pintu Air yang merupakan masjid terbesar dan termegah di Asia Tenggara. Tempat ibadah ini juga diselesaikan pada masa Pak Harto. Menjelang kejatuhannya, Bung Karno sempat berencana untuk membangun Menara Bung Karno di Ancol.
Untuk mewujudkan politiknya, dia membangun Gedung Ganefo yang kini menjadi Gedung DPR-RI. Gedung ini dimaksudkan untuk menyaingi Gedung PBB di New York, Amerika Serikat (AS).
Indonesia pada masa Bung Karno pernah keluar dari PBB. Dia kemudian menggalang kekuatan The New Emerging Forces, yang direalisasikan tahun 1963 ketika diselenggarakan Konferensi Negara-Negara Emerging Forces.
Tulisan ini disadur dari Harian Republika edisi 21 November 2013 karya Alwi Shahab. Sosok yang akrab disapa Abah Alwi (wafat 2020) ini adalah wartawan Republika lintas zaman.