Ahad 18 Aug 2024 14:23 WIB

Pemerintah akan Umumkan Kebijakan Baru Subsidi BBM, Ini Pilihan Opsinya

Fabby menilai pemerintah bisa melakukan pembatasan.

Rep: Frederikus Bata/ Red: Ahmad Fikri Noor
Pengendara mengisi bahan bakar minyak (BBM) jenis pertalite di SPBU di kawasan Jalan Pemuda, Rawamangun, Jakarta Timur, Senin (13/5/2024).
Foto: Republika/Thoudy Badai
Pengendara mengisi bahan bakar minyak (BBM) jenis pertalite di SPBU di kawasan Jalan Pemuda, Rawamangun, Jakarta Timur, Senin (13/5/2024).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pada 1 September 2024 nanti, pemerintah berencana menetapkan aturan baru seputar BBM bersubdisi. Pemerintah akan melakukan sosialisasi perihal kriteria pengguna Pertalite dan Solar subsidi terlebih dahulu.

Saat ini harga Pertalite di SPBU Pertamina berada di angka Rp 10.000 per liter. Lalu solar subsidi atau biosolar seharga Rp 6.800 per liter. Masih ada saja oknum pengendara mobil mewah atau orang mampu menggunakan BBM jenis ini.

Baca Juga

Itulah mengapa perlu lebih diperketat penyalurannya. Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa menegaskan, subsidi itu bertujuan untuk memastikan kelompok masyarakat tidak mampu bisa mendapatkan akses energi dengan harga terjangkau.

"Jadi tujuannya itu. Selalu definisi subsidi begitu," kata Direktur IESR ini kepada Republika.co.id, beberapa waktu lalu.

Subsidi tentunya menggunakan APBN. Itu berarti uang rakyat hasil bayar pajak. Oleh karena itu harus dipastikan agar proses mengeluarkan dana subsidi ini dilakukan seefektif mungkin.

Fabby menjelaskan, terkait BBM, ada subsidi dan kompensasi. Ia mencontohkan minyak solar merupakan produk BBM subsidi. Lalu ada pula BBM penugasan khusus seperti Pertalite.

"Untuk yang minyak solar harusnya memang dibatasi bagi kendaraan bukan kendaraan pribadi. Kalau sekarang kan setiap orang bisa beli solar. Truk tambang juga bisa beli solar di Pertamina. Padahal dia jualannya tambang. Harusnya tidak boleh kan?" ujarnya.

Fabby menilai pemerintah bisa melakukan pembatasan dengan menetapkan siapa yang layak membeli. "Itu bisa dicek misalnya diberikan zat tertentu, nanti warnanya beda. Sehingga kalau ketahuan ada pengguna yang tidak seharusnya menggunakan bbm subsidi, dan tetap membelinya, bisa kena denda bahkan sampai pidana," tuturnya.

"Jadi menurut saya ya, straight saja. Selain kendaraan umum dan angkutan-angkutan yang memang ditetapkan oleh pemerintah, tidak boleh (beli solar subsidi)," ujar Direktur Eksekutif IESR ini.

Berikutnya tentang Pertalite. Ia melihat BBM jenis tersebut dijual bebas ke semua orang. Ada kompensasi dari pemerintah untuk Pertamina.

"Volumenya banyak. Menurut saya ini juga masalah, karena satu ya Pertalite itu dijual dengan di bawah harga keekonomian, tapi juga kualitas bahan bakar yang rendah gitu," ujar Fabby.

photo
Pengendara mengisi bahan bakar minyak (BBM) jenis pertalite di SPBU di kawasan Jalan Pemuda, Rawamangun, Jakarta Timur, Senin (13/5/2024). - (Republika/Thoudy Badai)

Selanjutnya, terkait penyaluran BBM subsidi saat ini. Fabby mengetahui ada aplikasi My Pertamina yang mengatur pendataan siapa yang berhak menerima BBM subsidi atau penugasan tersebut. Ia merasa bukan sesuatu yang sulit untuk mengaturnya. Hanya saja, menurutnya, persoalan ada di political will dan leadership Presiden Joko Widodo.

"Presiden itu tidak ingin popularitasnya turun. Beban anggaran naik terus karena dia tidak mau harga energi naik karena dia takut kehilangan popularitas. Jadi persoalannya itu bukan di teknisnya, tapi lebih kepada kemauan politiknya," ujarnya.

Ia berharap, Presiden membuat keputusan tidak populer jika memang diperlukan. Ini untuk menyelamatkan APBN di situasi ekonomi seperti sekarang.

Direktur Eksekutif Center for Energy Security Studies (CESS) Ali Ahmudi Achyak memiliki rekomendasi untuk pemerintah dari CESS terkait distribusi BBM bersubsidi. Pertama, perlu ditetapkan secara jelas dan tegas terkait kuota BBM bersubsidi berdasarkan data valid terkait jumlah masyarakat yang berhak menerima subsidi. Kedua, perlu dirancang, direalisasikan dan dikontrol secara ketat proses distribusi BBM bersubsidi agar tepat sasaran dan sesuai dengan batas kuota yang sudah ditetapkan.

Ketiga, pemerintah perlu membangun sistem distribusi BBM bersubsidi berbasis kewilayahan (spasial) agar optimal dan menghindari potensi kebocoran dan salah sasaran dalam distribusi BBM. Keempat, masyarakat perlu mendapatkan edukasi terkait pemanfaatan BBM secara efektif dan efisien. Kelima, dalam jangka panjang perlu bauran energi (energy mix) yang lebih variatif sebagai bagian proses transisi energi menuju terwujudnya ketahanan energi nasional.

Direktur Eksekutif Center of Reform on Economic (CORE) Indonesia, Mohammad Faisal menilai, konteksnya adalah pemerintah menghindari supaya BBM subsidi ini tidak dinikmati orang kaya. Sehingga penyalurannya bisa tepat sasaran ke golongan masyarakat menengah ke bawah. Ia menyinggung terbatasnya kuota penyaluran BBM bersubsidi itu.

"Jangan sampai overkuota. Terlewati seperti tahun 2022 sehingga kalau sudah habis kuotanya, malah harganya dinaikkan semua secara umum dan artinya kalau demikian berarti semuanya kena dari yang kaya sampai yang miskin," kata Faisal.

Ia menilai sudah lama ada usulan agar pemerintah mencari inovasi yang efektif terkait pembatasan penggunaan BBM bersubsidi itu. Ia mengetahui aplikasi My Pertamina di lapangan. Namun, menurut dia, secara sistem belum meyakinkan.

Pemerintah, lanjut Faisal, mengantisipasi kebocoran atau hal-hal yang tidak efektif dalam praktik penyaluran BBM bersubsidi ini. Terutama di daerah-daerah seperti Kalimantan dan Sumatera, pengawasannya relatif susah.

"Bahkan, cenderung tidak aman dari pihak-pihak tertentu yang punya power, mereka memaksakan tetap membeli bensin bersubsidi padahal mereka tidak layak (menerimanya)," ujar Direktur Eksekutif CORE Indonesia ini.

Oleh karenanya, pembatasan BBM bersubsidi sesuatu yang niscaya. Pada saat yang sama, menurut Faisal, perlu kehati-hatian dalam menerapkannya. Ini terkait sistem pengaturan di lapangan.

Sistemnya, kata dia, harus betul-betul matang. Dari pendataan secara digital, lalu pengontrolan, monitoring dan evaluasi (monev), sehingga bisa efektif penerapan kebijakan pengetatan tersebut.

Sejak 1 Juli 2022, pelanggan Pertalite untuk kendaraan roda empat serta solar subsidi, harus mendaftarkan data diri dan kendaraan melalui situs subsiditepat.mypertamina.id. Setelah mendaftarkan data diri dan kendaraan, pelanggan langsung bisa membeli Pertalite dan Solar subsidi.

Sebelum mendaftar, terlebih dahulu, siapkan dokumen yang diperlukan. Pertama, foto KTP. Pastikan foto KTP anda terlihat jelas dan tulisan dapat terbaca. Kedua, foto STNK. Pastikan foto tampak depan dan belakang STNK anda terlihat jelas dan dapat terbaca. Ketiga, foto Kendaraan Beserta Nomor Polisi. Fotokan kendaraan anda dari samping dan pastikan nomor polisi juga terlihat dengan jelas. Lalu menuju ke situs subsiditepat.mypertamina.id, melakukan sesuai langkah-langkah yang diminta.

Meski demikian, masih ada potensi kebocoran di lapangan. Vice President Corporate Communication Pertamina, Fadjar Djoko Santoso mengatakan perusahaan telah melakukan upaya-upaya agar BBM subsidi bisa tepat sasaran. Upaya demikian akan terus dilakukan.

Pertama, Pertamina menggunakan teknologi informasi untuk memantau pembelian BBM Bersubsidi di SPBU-SPBU secara real time. Ini untuk memastikan konsumen yang membeli adalah masyarakat yang berhak. BUMN tersebut mengembangkan alert system yang mengirimkan exception signal dan dimonitor langsung dari command center Pertamina.

"Melalui sistem ini, data transaksi tidak wajar seperti pengisian di atas 200 liter Solar untuk satu kendaraan bermotor atau pengisian BBM PSO kepada kendaraan yang tidak mendaftarkan nomor polisi (nopol) kendaraannya akan termonitor langsung oleh Pertamina," kata Fadjar dalam keterangan tertulis di Jakarta, Rabu (10/7/2024).

"Sejak implementasi exception signal ini pada tanggal 1 Agustus 2022 hingga kuartal I 2024, Pertamina telah mengurangi risiko penyalahgunaan BBM bersubsidi senilai 281 juta dolar AS atau sekitar Rp 4,4 trilliun."

Kedua, program penguatan sarana dan fasilitas digitalisasi di SPBU. Pertamina berkomitmen melakukan digitalisasi di seluruh SPBU Pertamina yang mencapai lebih dari 8.000 SPBU. Ini termasuk SPBU yang berada di daerah 3T (Tertinggal, Terdepan, Terluar). Hasilnya, hingga saat ini 82 persen SPBU telah terkoneksi secara nasional.

"Semakin banyak SPBU yang terkoneksi dengan sistem digitalisasi Pertamina, akan semakin memudahkan monitoring dan pengawasan atas penyaluran BBM bersubsidi," ujar Fadjar.

Ketiga, Pertamina terus meningkatkan kerja sama dengan Aparat Penegak Hukum (APH) untuk meningkatkan pengawasan dan penindakan kegiatan penyalahgunaan BBM Bersubsidi yang tidak sesuai peruntukannya. Keempat, Pertamina mendorong masyarakat ikut dalam Program Subsidi Tepat secara daring guna mengidentifikasi konsumen yang berhak dan memonitor konsumsi atas JBT Solar dan JBKP Pertalite.

Fadjar mengungkapkan, selama 2023 Pertamina melakukan pengendalian penyaluran JBT Solar dan JBKP Pertalite sehingga realisasi penyaluran berada di bawah kuota yang ditetapkan Pemerintah. Realisasi penyaluran selama 2023 untuk JBT Minyak Solar sebesar 17,4 Juta kiloliter (KL) dan JBKP Pertalite adalah 30,0 Juta KL.

Pemerintah akan lakukan sosialisasi... (berikutnya)

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement