Ahad 18 Aug 2024 18:21 WIB

Pengamat Sebut Pemilik Mobil Pribadi Seharusnya tidak Gunakan BBM Bersubsidi

Pada dasarnya orang yang mampu beli mobil dinilai masuk kelas menengah.

Rep: Frederikus Bata/ Red: Gita Amanda
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengatakan, seharusnya pemilik mobil pribadi dilarang menggunakan bbm bersubsidi. (ilustrasi)
Foto: Prayogi/Republika.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengatakan, seharusnya pemilik mobil pribadi dilarang menggunakan bbm bersubsidi. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa turut berbicara mengenai upaya pemerintah membuat penyaluran bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi lebih tepat sasaran. Ia menegaskan, intinya, bbm subsidi  itu untuk orang tidak mampu.

Berangkat dari substansi tersebut, lanjut Fabi, seharusnya pemilik mobil pribadi dilarang menggunakan bbm bersubsidi. Tak peduli berapa kapasitas mesin mobil (Cubic Centimeter/cc) yang dipakai. 

Baca Juga

"Walaupun cc-nya kecil, pada dasarnya orang yang mampu beli mobil sebenarnya kelas menengah. Jadi bukan dalam kategori masyarakat tidak mampu," kata Direktur Eksekutif IESR ini kepada Republika.co.id, Ahad (18/8/2024).

Kemudian yang layak dapat bbm subdisi, menurutnya kendaraan umum. Sehingga tidak meningkatkan beban logistik dan inflasi. Saat ini, ada fakta lainnya di lapangan.

Kendaraan pribadi banyak digunakan sebagai taksi online. Ia menyarankan pihak berwenang mengatur kuota penjatahan. Tentunya pengguna perlu mendaftar terlebih dahulu.

"Mereka yang kerja seperti itu gak semuanya masyarakat mampu. Ada kan juga yang mobilnya nyewa dia. Tapi menurut saya ini yang untuk transparansi ya didaftarkan aja. Dan diatur konsumsi BBM per bulan berapa liter gitu. Dari sana bisa dilihat dari sisi kewajaran kan," ujar Fabby.

Pemerintah mengatur besaran kuota. Intinya, lanjut dia, ini sebagai jalan tengah. Sehingga jangan sampai menambah beban ekonomi dan inflasi.

Dengan pengaturan kuota, bisa menutup peluang kebocoran. Pasalnya ada saja oknum yang melakukan penumpukan bbm. Kontrolnya bisa dilihat karena ada data pendaftar dan kuota yang dibatasi.

"Supaya jangan sampai ada perilaku yang tadi saya katakan. Jadi dia ngisi penuh. Nanti bisa disedot, diperjualbelikan atau dipindahkan ke kendaraan lain. Jadi gak benar itu," tutur Fabby.

Pemerintah berencana menetapkan kriteria pengguna bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi pada 1 September 2024. Secara khusus untuk pengguna jenis Pertalite dan Solar Subsidi. Saat ini dalam tahap sosialisasi. 

Bakal ada aturan baru terkait hal itu. Dalam pemberitaan Republika sebelumnya, saat ini pemerintah sedang sedang menyiapkan kriteria-kriteria kendaraan yang memang berhak menggunakan BBM subsidi tersebut. Diharapkan, program subsidi ini tepat sasaran.

"Ya sedang disiapkan lah. Nanti yang ngomongin kan bukan saya. Ya dua-duanyalah (Pertalite dan Solar subsidi), yang penting tepat sasaran," kata Menteri ESDM, Arifin Tasrif.

Deputi Bidang Koordinasi Infrastruktur dan Transportasi, Kemenko Maritim dan Investasi (Marves) Rachmat Kaimuddin mengatakan aturan baru tersebut masih dalam proses finalisasi. Setelahnya akan diumumkan setelah selesai semuanya.

Rachmat mengatakan aturan baru ini bukan membatasi pembelian BBM bersubsidi, melainkan upaya pemerintah memastikan BBM bersubsidi menjadi lebih tepat sasaran. Ia menyampaikan tidak ada perubahan harga maupun akses bagi masyarakat atau jenis kendaraan yang berhak mendapatkan BBM bersubsidi, seperti kendaraan roda dua, nelayan, maupun transportasi umum.

Ia menjelaskan, model subsidi BBM selama ini justru lebih banyak dinikmati oleh orang yang mampu. Rachmat menyampaikan orang dengan tingkat ekonomi yang tinggi akan mendapat lebih banyak menggunakan subsidi BBM mengingat jumlah kendaraan maupun jenis kendaraan yang lebih banyak ketimbang orang yang tidak mampu.

Rachmat mengatakan jumlah subsidi solar tercatat sebesar Rp 8.000 per liter atau lebih besar dari subsidi bensin yang sekitar Rp 1.800 hingga Rp 2.000 per liter. Berdasarkan kajian, jelas dia, subsidi yang diterima pengguna kendaraan roda dua atau sepeda motor jauh lebih rendah dibandingkan subsidi BBM oleh pengendara kendaraan roda dua atau mobil, baik jenis bensin maupun diesel.

Sejak 1 Juli 2022, pelanggan pertalite untuk kendaraan roda empat serta solar subdisi, harus mendaftarkan data diri dan kendaraan melalui situs subsiditepat.mypertamina.id. Setelah mendaftarkan data diri dan kendaraan, pelanggan langsung bisa membeli pertalite dan solar subsidi.

Sebelum mendaftar, terlebih dahulu, siapkan dokumen yang diperlukan. Pertama, Foto KTP. Pastikan foto KTP anda terlihat jelas dan tulisa dapat terbaca. Kedua, Foto STNK. Pastikan foto tampak depan dan belakang STNK anda  terlihat jelas dan dapat terbaca. Ketiga, Foto Kendaraan Beserta Nomor Polisi. Fotokan kendaraan anda dari samping dan pastikan nomor polisi juga terlihat dengan jelas. Lalu menuju ke situs subsiditepat.mypertamina.id, melakukan sesuai langkah-langkah yang diminta.

Meski demikian, masih ada potensi kebocoran di lapangan. Vice President Corporate Communication Pertamina, Fadjar Djoko Santoso mengatakan perusahaan telah melakukan upaya-upaya agar BBM subsidi bisa tepat sasaran. Upaya demikian akan terus dilakukan.

Pertama, Pertamina menggunakan teknologi informasi untuk memantau pembelian BBM Bersubsidi di SPBU-SPBU secara real time. Ini untuk memastikan konsumen yang membeli adalah masyarakat yang berhak. BUMN tersebut mengembangkan alert system yang mengirimkan exception signal dan dimonitor langsung dari command center Pertamina. 

"Melalui sistem ini, data transaksi tidak wajar seperti pengisian di atas 200 liter Solar untuk satu kendaraan bermotor atau pengisian BBM PSO kepada kendaraan yang tidak mendaftarkan nomor polisi (nopol) kendaraannya akan termonitor langsung oleh Pertamina," kata Fadjar dalam keterangan tertulis di Jakarta, Rabu (10/7/2024).

"Sejak implementasi exception signal ini pada tanggal 1 Agustus 2022 hingga Triwulan I 2024, Pertamina telah mengurangi risiko penyalahgunaan BBM bersubsidi senilai 281 juta dollar AS atau sekitar Rp 4,4 trilliun."

Kedua, program penguatan sarana dan fasilitas digitalisasi di SPBU. Pertamina berkomitmen melakukan digitalisasi di seluruh SPBU Pertamina yang mencapai lebih dari 8.000 SPBU. Ini termasuk SPBU yang berada di daerah 3T (Tertinggal, Terdepan, Terluar). Hasilnya, hingga saat ini 82 persen SPBU telah terkoneksi secara nasional. 

"Semakin banyak SPBU yang terkoneksi dengan sistem digitalisasi Pertamina, akan semakin memudahkan monitoring dan pengawasan atas penyaluran BBM bersubsidi," ujar Fadjar.

Ketiga, Pertamina terus meningkatkan kerja sama dengan Aparat Penegak Hukum (APH) untuk meningkatkan pengawasan dan penindakan kegiatan penyalahgunaan BBM Bersubsidi yang tidak sesuai peruntukannya. Keempat, Pertamina mendorong masyarakat ikut dalam Program Subsidi Tepat secara daring guna mengidentifikasi konsumen yang berhak dan memonitor konsumsi atas JBT Solar dan JBKP Pertalite.

Fadjar mengungkapkan, selama 2023 Pertamina melakukan pengendalian penyaluran JBT Solar dan JBKP Pertalite sehingga realisasi penyaluran berada di bawah kuota yang ditetapkan Pemerintah. Realisasi penyaluran selama 2023 untuk JBT Minyak Solar sebesar 17,4 Juta kiloliter (KL) dan JBKP Pertalite adalah 30,0 Juta KL. 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement