Senin 19 Aug 2024 11:17 WIB

Konser Taylor Swift di Austria Diwarnai Teror, 3 Remaja Ditangkap

Polisi Austria menangkap 3 remaja yang diduga terlibat teror konser Taylor Swift.

Rep: Gumanti Awaliyah/ Red: Qommarria Rostanti
Penyanyi Taylor Swift. Ancaman teror mewarnai konser Taylor Swift di Austria.
Foto: EPA-EFE/JOEL CARRETT
Penyanyi Taylor Swift. Ancaman teror mewarnai konser Taylor Swift di Austria.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah Austria mengajukan serangkaian langkah baru untuk memperkuat pemberantasan terorisme, termasuk peningkatan pemantauan terhadap layanan pesan instan. Hal ini diusulkan setelah insiden ancaman teror di konser Taylor Swift di ibu kota negara tersebut.

Kanselir Austria, Karl Nehammer, mempresentasikan paket kebijakan tersebut kepada Dewan Intelijen Austria. Dalam pernyataan yang dipublikasikan surat kabar Austria Kronen Zeitung, pemerintah menyebutkan bahwa terorisme telah menjadi ancaman bagi keamanan dan kebebasan di negara tersebut.

Baca Juga

Prioritas utama yang diajukan oleh pemerintah adalah pemberian kewenangan hukum bagi Kementerian Pertahanan dan Kementerian Dalam Negeri untuk memantau isi pesan yang dikirim melalui layanan perpesanan. Langkah ini diambil setelah Kanselir Karl Nehammer mengatakan kepada media Jerman pada akhir pekan lalu bahwa badan-badan intelijen Austria perlu diberikan kemampuan untuk mendeskripsi aplikasi perpesanan seperti WhatsApp, Signal, dan Telegram. Hal ini memungkinkan badan keamanan untuk meninjau konten pesan yang dianggap penting bagi keamanan negara.

“Perlu ada kewenangan hukum untuk bisa memantau isi pesan yang dikirim melalui aplikasi perpesanan,” demikian kata Nehammer seperti dilansir Euronews, Ahad (18/8/2024).

Pada 8 Agustus, polisi Austria menangkap tiga remaja berusia antara 17 dan 19 tahun setelah diduga terkait dengan rencana serangan teroris di konser Taylor Swift. Dalam penggeledahan di rumah salah satu remaja berusia 19 tahun itu, aparat menemukan peralatan teknis yang dibutuhkan untuk membuat bahan peledak.

Sementara itu, upaya untuk memperluas kewenangan pemantauan data perpesanan ini bukan yang pertama kali dilakukan oleh parlemen Austria. Pada tahun 2018 pemerintah Austria meloloskan undang-undang yang memungkinkan polisi untuk meninjau percakapan secara real time di WhatsApp dan layanan serupa jika ada perintah pengadilan terkait aktivitas teroris.

Namun Mahkamah Konstitusi Austria membatalkan beberapa bagian dari undang-undang tersebut pada tahun 2019. Dalam putusannya, Mahkamah menyatakan bahwa penggunaan perangkat lunak “Federal trojan” yang dirancang untuk melewati enkripsi aplikasi pesan adalah pelanggaran serius terhadap hak dan privasi pengguna.

Mahkamah juga menilai bentuk pengawasan ini sebagai metode yang sangat intens, karena data yang diperoleh mencakup informasi tentang preferensi pribadi, kecenderungan, dan gaya hidup pengguna. Setelah serangan teroris tahun 2020 di Wina, pemerintah Austria kembali berupaya memperkuat kewenangan mereka. Kali ini, desakan untuk menggunakan perangkat lunak “federal trojan” semakin menguat setelah Egisto Ott, mantan perwira intelijen Austria, didakwa karena diduga menyerahkan data ponsel pejabat tinggi kepada pihak Rusia.

Namun langkah kebijakan ini menuai kritik dari berbagai pihak termasuk Epicenter.works, sebuah LSM hak asasi yang berbasis di Austria. Mereka menegaskan bahwa penggunaan federal trojan untuk menerobos enkripsi akan membahayakan keamanan semua pengguna ponsel pintar.

“Untuk menggunakan trojan, pemerintah harus mengeluarkan uang pajak untuk mengeksploitasi celah keamanan. Di sinilah kebalikan kepentingan yang absurd menjadi jelas,” kata LSM tersebut.

 

Dari tokoh ramai dibicarakan ini, siapa kamu jagokan sebagai calon gubernur DKI Jakarta 2024

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement