REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dalam sebuah hadis, Rasulullah Muhammad SAW bersabda, "Apabila Allah menghendaki kebaikan pada diri seorang pemimpin, maka Dia menjadikan bagi orang itu menteri yang jujur (shadiq). Jika pemimpin itu lupa, maka ia (menteri) akan mengingatkannya.
Jika ia ingat, maka menteri itu akan membantunya. Apabila Allah menghendaki keburukan pada diri seorang pemimpin, maka Allah menjadikan baginya menteri yang tidak baik (su'). Jika ia lupa, maka ia (menteri) tidak akan mengingatkannya. Jika ia ingat, maka menteri itu tidak akan membantunya" (HR Abu Dawud).
Hadis di atas menjelaskan urgensi posisi menteri--atau wazir menurut istilah Arab--bagi kesuksesan seorang pemimpin. Sabda Rasulullah SAW itu mengisyaratkan, menteri yang tidak 'asal bapak senang' (ABS) merupakan bagian penting dari kepemimpinan yang sukses. Menteri yang ABS tidak akan jujur menyampaikan laporan karena hanya ingin mengabarkan yang baik-baik saja kepada atasan--walaupun keadaan lapangan adalah sebaliknya.
Oleh karena itu, pemimpin berkewajiban memilih para menteri dari kalangan orang-orang yang memiliki integritas, kapabilitas, serta komitmen kuat. Semua itu bervisi pada perbaikan nasib rakyat.
Dengan kriteria semacam itu, para menteri akan selalu mengingatkan pemimpinnya di saat dia lupa, menegurnya di saat dia salah, dan senantiasa membantunya demi kemaslahatan rakyat. Bukan 'ABS.'
Pesan Rasulullah SAW itu sudah jelas. Pemimpin yang mendapati para menterinya jujur berarti ia sendiri dikehendaki oleh Allah SWT akan suatu kebajikan. Maka dari itu, kecakapan menteri-menteri adalah cerminan dari iman dan ketakwaannya kepada Allah Ta'ala.
Boleh jadi Allah tak menghendaki kebaikan pada diri seorang pemimpin, sehingga menteri-menteri yang ada di sekitarnya justru membuatnya terjerumus dalam kefasikan.
Sejarah mencatat, sebagaimana diabadikan pula dalam Alquran, bagaimana Mesir pernah mencapai masa keemasan. Rakyatnya hidup makmur, rukun, dan sejahtera di saat pemimpin negeri itu memiliki menteri bernama Nabi Yusuf AS. Putra Nabi Yaqub AS itu mempunyai kriteria hafiz (pandai menjaga), jujur, dan 'aliim (berpengetahuan luas dan profesional).
Sebaliknya, Mesir juga pernah mengalami kemunduran dan keterpurukan kala negeri itu dipimpin Fir'aun yang memiliki menteri bernama Haman. Menteri ini selalu 'mengipas-ngipasi' dan 'memanas-manasi' atasannya agar berbuat kezaliman. Kebijakan-kebijakan yang ada pun menyengsarakan rakyat serta menyakiti orang beriman. Karenanya, Allah SWT menenggelamkan Firaun dan konco-konconya ke dasar laut. Demikianlah akhir nasib penguasa dan kroni-kroninya yang zalim dan sombong.
