REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Panja DPR membahas revisi UU Pilkada 2024. Pembahasan ini dilakukan secara cepat menyikapi Putusan Mahkamah Konstitusi terkait dengan ambang batas untuk memajukan calon di Pilkada serta batasan umur buat maju.
Dalam putusannya, MK memangkas batas minimum untuk maju di Pilkada dari sebelumnya 20 persen menjadi 6,5 persen-10 persen tergantung dari jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap.
Mengacu pada putusan itu Anies sejatinya berpeluang maju dan bisa diusung oleh PDIP atau partai kecil lainnya yang belum mendukung Koalisi Indonesia Maju (KIM) Plus. Anies Baswedan dalam pernyataan mengatakan, demokrasi Indonesia kembali berada di persimpangan krusial.
"Nasibnya ditentukan hari-hari ini oleh Ibu/Bapak wakil rakyat di DPR yang masing-masing dari mereka memegang titipan suara ratusan ribu rakyat Indonesia. Ibu/Bapak ketua partai memanggul kesempatan dan tanggung jawab yang sama pula saat ini," ujar Anies lewat akun X, Rabu (21/8/2024).
Anies punya harapan kuat kepada mereka semua agar berpikiran jernih dan berketetapan hati mengembalikan konstitusi dan demokrasi Indonesia kepada relnya, sesuai cita-cita reformasi.
"Semoga setiap mereka menjadi bagian yang dicatat dengan baik dalam sejarah perjalanan bangsa," ujarnya.
Akrobat politik
Namun sejumlah pakar telah mengkritisi langkah anggota DPR yang mengangkangi putusan Mahkamah Konstitusi.
DPR dinilai tengah melakukan akrobat politik dengan tujuan menganulir putusan MK.
"Putusan MK sangat jelas: “partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu..” Tapi lucunya DPR akrobat sedemikian rupa untuk menganulir Putusan MK. Logikanya sederhana: masak partai yg tidak punya kursi bisa mencalonkan, sementara partai-partai yg punya kursi harus mencapai minimal 20 persen-30 persen untuk bisa mencalonkan di pilkada. Saya nggak paham lagi deh," ujar ahli Prof. Burhanuddin Muhtadi lewat akun @BurhanMuhtadi yang sudah diverifikasi oleh X, Rabu.
Burhanuddin pun mengingatkan warganet untuk tidak teralihkan isunya kecuali fokus untuk mengawal putusan MK. Menurutnya, DPR saat ini tengah berupaya menyiasati putusan MK dengan cara tidak memberlakukan ambang batas hanya pada partai yangg tidak punya kursi di DPRD, sementara partai yang punya kursi tetap diberlakukan aturan threshold 20-25 persen utk bisa mencalonkan di pilkada.
Pegiat pemilu, Titi Anggraini juga mengritisi langkah Baleg DPR yang 'mendadak' membahas revisi UU Pilkada. Padahal, menurutnya, sudah sangat jelas, bahwa Putusan MK No.60/PUU-XXII/2024 mengatakan bahwa syarat threshold (ambang batas) pencalonan yang direkonstruksi itu berlaku baik untuk partai parlemen maupun nonparlemen.
"Kenapa wakil rakyat tidak bersuara seperti suara rakyat dan corong Konstitusi? Apakah rakyat sudah dianggap angin lalu oleh mereka?" kata Titi.
Titi mengingatkan DPR bahwa, putusan MK bersifat final dan mengikat serta berlaku serta merta bagi semua pihak atau erga omnes. Menurut Titi, jika sampai putusan MK disimpangi maka telah terjadi pembangkangan konstitusi dan bila terus berlanjut, Pilkada 2024 menjadi inkonstitusional dan tidak legitimate untuk diselenggarakan.