REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Mahkamah Konstitusi (MK) memastikan putusan 60/2024 dan 70/2024 dapat dijadikan dasar hukum dan acuan yang sah bagi partai politik (parpol) atau gabungan parpol dalam mendaftarkan para calon kepala daerahnya (cakada) untuk Pilkada 2024. Juru Bicara MK Fajar Laksono mengatakan, dua putusan MK tersebut berlaku selama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pembentuk UU tak mengundangkan beleid baru terkait dengan pilkada.
Fajar menerangkan, putusan MK 60/2024, mengubah bunyi Pasal 40 UU Pilkada 2016 tentang ambang batas minimal sebagai syarat parpol atau gabungan parpol untuk mengusung cakada dalam pilkada. MK dalam putusannya itu, merasionalisasikan empat klaster ambang batas baru di bawah 10 persen bagi parpol atau gabungan parpol untuk mengusung pada cakadanya.
Sedangkan putusan MK 70/2024 mengubah ketentuan Pasal 7 UU Pilkada yang mengatur soal batas umur cakada pada saat pendaftaran di Komisi Pemilihan Umum (KPU). Kata Fajar, dengan adanya putusan MK tersebut, maka ketentuan dalam Pasal 40 dan Pasal 7 UU Pilkada 2016 mengacu pada putusan MK.
“Jadi undang-undang pilkada yang sekarang itu bunyinya seperti yang sudah diputuskan oleh MK, sebagaimana yang sudah dilengkapi dalam putusan MK atau yang sudah diuji konstitusionalitasnya oleh MK melalui putusan oleh hakim konstitusi,” begitu kata Fajar di Gedung MK, Jakarta, Kamis (22/8/2024).
Dengan putusan tersebut, kata Fajar, sejatinya UU Pilkada yang menjadi dasar acuan proses pelaksanaannya turut serta mengikuti putusan MK. Artinya, kata Fajar, jika ada parpol atau gabungan parpol yang mendaftarkan para cakadanya sesuai dengan putusan MK, hal tersebut tetap sah. Karena pendaftaran yang dilakukan parpol atau gabungan parpol untuk cakadanya mengacu pada UU Pilkada yang beberapa pasalnya sudah diaransemen oleh hakim konstitusi. “Jadi undang-undang yang berlaku, ya itu (UU Pilkada yang ada putusan MK-nya),” begitu kata Fajar.
Namun begitu, proses politik di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang saat ini membahas dan akan mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pilkada untuk menganulir dua putusan MK tersebut, menurut Fajar menjadi persoalan lain. “Jadi yang digunakan adalah Undang-Undang Pilkada (bukan RUU Pilkada). Saya bilang tadi, membaca putusan MK itu, harus dengan undang-undangnya,” begitu kata Fajar.
RUU yang belum menjadi UU, bukanlah beleid yang bisa menjadi dasar hukum. Namun jika RUU Pilkada tersebut disahkan oleh paripurna DPR dan menjadi UU, kata Fajar, putusan MK sebelumnya bisa dikatakan tak lagi bermakna. Akan tetapi dia memastikan, setiap UU dapat diajukan judical review atas UUD 1945 seperti pada saat MK memutuskan mengubah Pasal 40 dan Pasal 7 UU Pilkada 2016 itu.