REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pencapaian Satgas BLBI dalam mengumpulkan aset senilai Rp 38,2 triliun selama tiga tahun terakhir perlu mendapat perhatian khusus. Meskipun angka tersebut terdengar signifikan, ada kenyataan pahit di baliknya, yakni, hanya Rp1,5 triliun yang berhasil dikumpulkan dalam bentuk tunai dan selebihnya berupa aset yang belum tentu bisa dimonetesiasi senilai yang diklaim. Hal tersebut tentu saja jauh dari target Rp 110,45 triliun yang ditetapkan.
"Fakta bahwa BLBI dulu diberikan kepada debitur dalam bentuk tunai seutuhnya membuat jumlah tunai yang hanya Rp1,5 triliun saat ini sangat mengecewakan," kata pengamat hukum, Hardjuno Wiwoho, yang juga eks Staf Ahli Utama Pansus BLBI DPD RI, dalam siaran pers, Kamis (22/8/2024).
BLBI, yang awalnya diberikan pada akhir 1990-an untuk menyelamatkan perbankan nasional, seharusnya dikembalikan dengan hasil yang setara. Namun, setelah bertahun-tahun upaya penagihan, dana tunai yang berhasil dikumpulkan jauh dari harapan. Sebagian besar aset yang disita berupa properti dan barang jaminan yang nilai moneternya belum terealisasi sepenuhnya.
"Konversi aset non-tunai menjadi dana yang dapat langsung digunakan oleh negara seharusnya menjadi prioritas. Tanpa itu, hasilnya hanya akan menjadi sekumpulan aset yang belum tentu mudah dimonetisasi," kata Hardjuno.
Yang lebih mengkhawatirkan lagi, ketika menghitung bunga sebesar 6 persen per tahun sejak Januari 1998 hingga 2024, nilai yang seharusnya dikembalikan oleh para debitur menjadi sekitar Rp 502,48 triliun. Ini berarti bahwa bukan hanya pokok BLBI yang belum tertagih, tetapi juga bunga yang terus bertambah selama lebih dari 26 tahun.
"Dengan bunga yang sudah mencapai ratusan triliun rupiah, terlihat betapa besar kerugian negara jika masalah ini tidak segera diselesaikan," kata Hardjuno.
Dengan masa tugas Satgas BLBI yang akan berakhir pada Desember 2024, dan pergantian kekuasaan dari Presiden Jokowi ke Prabowo Subianto yang dijadwalkan pada Oktober, muncul kekhawatiran serius tentang nasib penagihan utang BLBI. Setiap pergantian kepemimpinan membawa risiko perubahan kebijakan dan prioritas, yang bisa memengaruhi keberlanjutan upaya ini.
"Jika pemerintahan baru tidak memberikan dukungan penuh, ada risiko bahwa upaya pengembalian dana BLBI akan terhenti atau kehilangan momentum," kata Hardjuno.
Hardjuno juga menekankan pentingnya pemerintah baru untuk memastikan bahwa penyelesaian masalah BLBI tetap menjadi prioritas utama. Dengan masih ada sekitar Rp 72,25 triliun yang belum tertagih, dan nilai yang seharusnya dikembalikan termasuk bunga mencapai Rp 502,48 triliun, upaya untuk mengembalikan uang rakyat ini harus terus didorong.
"Tanpa komitmen kuat dari semua pihak, pencapaian Satgas BLBI ini mungkin hanya akan menjadi catatan sejarah tanpa dampak nyata bagi keuangan negara dan kesejahteraan rakyat," kata Hardjuno.