Kamis 22 Aug 2024 15:46 WIB

Satgas BLBI Hanya Kumpulkan Rp 1,5 Triliun, Bagaimana Kelanjutannya?

BLBI seharusnya dikembalikan dengan hasil yang setara.

Red: Fernan Rahadi
Mahasiswa Program Doktor Program Studi Hukum dan Pembangunan Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga Surabaya, Shri Hardjuno Wiwoho (tengah), saat mempertahankan disertasi berjudul Prinsip Kepastian Hukum Pada Akselerasi Reformasi Hukum Terhadap Perampasan Aset Tanpa Tuntutan Pidana (Non- Conviction Based Asset Forfeiture).
Foto: dokpri
Mahasiswa Program Doktor Program Studi Hukum dan Pembangunan Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga Surabaya, Shri Hardjuno Wiwoho (tengah), saat mempertahankan disertasi berjudul Prinsip Kepastian Hukum Pada Akselerasi Reformasi Hukum Terhadap Perampasan Aset Tanpa Tuntutan Pidana (Non- Conviction Based Asset Forfeiture).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pencapaian Satgas BLBI dalam mengumpulkan aset senilai Rp 38,2 triliun selama tiga tahun terakhir perlu mendapat perhatian khusus. Meskipun angka tersebut terdengar signifikan, ada kenyataan pahit di baliknya, yakni, hanya Rp1,5 triliun yang berhasil dikumpulkan dalam bentuk tunai dan selebihnya berupa aset yang belum tentu bisa dimonetesiasi senilai yang diklaim. Hal tersebut tentu saja jauh dari target Rp 110,45 triliun yang ditetapkan.

"Fakta bahwa BLBI dulu diberikan kepada debitur dalam bentuk tunai seutuhnya membuat jumlah tunai yang hanya Rp1,5 triliun saat ini sangat mengecewakan," kata pengamat hukum, Hardjuno Wiwoho, yang juga eks Staf Ahli Utama Pansus BLBI DPD RI, dalam siaran pers, Kamis (22/8/2024).

BLBI, yang awalnya diberikan pada akhir 1990-an untuk menyelamatkan perbankan nasional, seharusnya dikembalikan dengan hasil yang setara. Namun, setelah bertahun-tahun upaya penagihan, dana tunai yang berhasil dikumpulkan jauh dari harapan. Sebagian besar aset yang disita berupa properti dan barang jaminan yang nilai moneternya belum terealisasi sepenuhnya.

"Konversi aset non-tunai menjadi dana yang dapat langsung digunakan oleh negara seharusnya menjadi prioritas. Tanpa itu, hasilnya hanya akan menjadi sekumpulan aset yang belum tentu mudah dimonetisasi," kata Hardjuno.