Sementara itu, Sekretaris LBH AP PP Muhammadiyah, Ikhwan Fahrojih menjelaskan, demonstrasi di berbagai daerah di Indonesia pada Kamis (22/8/2024) kemarin merupakan bentuk reaksi masyarakat atas aksi DPR melakukan pembangkangan terhadap Konstitusi dengan berupaya menggagalkan putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024 dan 70/PUU-XXII/2024. Padahal, menurut dia, pasca Amandenen UUD 1945 jelas kita menganut paradigma “supremasi konstitusi” bukan lagi “supremasi parlemen”, artinya produk DPR berupa “UU” dapat dianulir oleh MK bila bertentangan dengan Konstitusi, sebaliknya Putusan Mahkamah Konstitusi mengikat DPR, sehingga DPR tidak dapat membentuk UU yang oleh MK telah dinyatakan bertentangan dengan konstitusi.
Aksi demonstrasi menentang arogansi DPR terjadi di berbagai kota di Indonesia, antara lain di Jakarta, Bandung, Surabaya, Yogjakarta, Malang, Palembang, Padang, Semarang, Makassar, Tasikmalaya, Purwokerto dan juga pertemuan besar dilakukan di kota lainnya seperti Lampung, Medan, Bali dll. "Namun sayang, demontrasi tersebut diwarnai dengan berbagai bentuk dugaan kekerasan oleh aparat kepolisian," jelas Ikhwan.
Sementara, Komnas HAM menduga aparat kepolisian melakukan pengamanan secara berlebihan, represif, intimidatif hingga tindak kekerasan pada para demontran. Polisi membubarkan massa aksi di Makassar setelah diketahui Iriana Jokowi hendak melewati jalan yang sedang digunakan untuk berdemonstrasi.
Sementara di Bandung, 31 (tiga puluh satu) demonstran mengalami kekerasan diduga oleh oknum Kepolisian, 2 (dua) diantaranya mengalami kepala bocor. Sedangkan di Jakarta, Polisi mulai menembakkan gas air mata ketika massa aksi berhasil merobohkan pagar DPR. Setelah kerumunan terpecah, aparat kepolisian mulai memburu mahasiswa dan pelajar. Banyak massa aksi yang mendapatkan pengeroyokan dengan cara dipukul dengan tongkat dan menendang massa aksi.