REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Babad Tanah Jawi adalah salah satu teks Jawa yang dikategorikan sebagai teks historis Jawa. Babad Tanah Jawi memberi pembenaran atas perubahan kerajaan Jawa dari kerajaan Hindu-Buddha Majapahit ke Islam Demak, dan selanjutnya Mataram pada pertengahan abad ke-16.
Teks Babad Tanah Jawi memberi penekanan bahwa semua kerajaan Jawa sejak masa pra-Islam diperintah oleh satu garis keturunan tunggal, melalui genealogi raja-raja Jawa yang tidak terputus hingga masa kekuasaan Mataram Islam.
Dengan demikian, berdirinya kerajaan-kerajaan Jawa dengan label Islam dipahami tetap berada dalam rangkaian perkembangan budaya Jawa. Maka raja-raja Mataram mendapat legitimasi magis-religius untuk berkuasa di kerajaan baru yang bernafaskan Islam.
Di antara teks sastra Jawa adalah Babad tanah Jawi, Serat Kandangin Ringgit Purwa, Major Serat Kanda, Major Babad Surakarta, Hikayat Banjar, Babad Arung Bondhan, Babad Cirebon, Sejarah Banten, Babad Godok, dan Serat Centini.
Seperti halnya Babad Tanah Jawi, Serat Centini menekankan bahwa perubahan serta peralihan kerajaan-kerajaan Jawa berlangsung melalui garis suksesi yang tidak terputus, sejak raja-raja Jawa yang berkuasa masa kerajaan Hindu-Buddha, Kerajaan Islam Demak dan kemudian Mataram.
Dalam hal ini teks Serat Centini menjadikan urutan genealogi raja-raja Jawa sebagai dasar penjelasan serta sekaligus pemecahan mitologis terhadap problem historis menyangkut perubahan menyusul Islamisasi, yang memang sangat signifikan bagi masyarakat Jawa yang sangat menekankan keberlangsungan budaya lama.
Oleh karena itu, dalam perkembangannya kemudian, apa yang diketengahkan teks tersebut diterima sebagai fakta sejarah. Demikian dikutip dari buku Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia Jilid 1 ditulis Abdul Hadi WM, Azyumardi Azra, Jajat Burhanudin, Muhamad Hisyam, Setyadi Sulaiman, Taufik Abdullah diterbitkan Direktorat Sejarah dan Nilai Budaya, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2015.
Di dunia Melayu ada Hikayat Raja-Raja Pasai untuk Kerajaan Samudera Pasai, dan Sejarah Melayu untuk Kerajaan Malaka.
Seperti halnya di dunia Melayu, teks-teks yang lahir pada periode awal perkembangan Islam di Jawa nampak memperlihatkan kecenderungan menjadikan Islamisasi sebagai tema utama. Hanya saja, berbeda dengan teks di Melayu seperti Hikayat Raja-Raja Pasai dan Sejarah Melayu yang lebih menerima Islam sebagai bagian dari perumusan awal budaya Melayu.
Dalam teks Sejarah Melayu hampir tidak diperoleh pembahasan yang menekankan signifikansi budaya masa pra-Islam. Sebaliknya, teks-teks sastra Jawa justru sangat menekankan keberlangsungan budaya pra-Islam, khususnya ketika menggambarkan sejarah peralihan Jawa yang tengah menerima Islam dan selanjutnya basis politik kerajaan.
Dengan menekankan budaya pra-Islam, problem suksesi kerajaan yang beralih dari Hindu-Buddha ke Islam menjadi salah satu agenda pembahasan.
Terkait penggambaran Islamisasi di masa awal, khususnya di wilayah Melayu, terlihat bahwa apa yang terungkap dalam karya-karya seperti Hikayat Raja-Raja Pasai dan Sejarah Melayu sangat diwarnai unsur mitologi. Tentu ini harus dipahami seperti dikatakan pada ahli sejarah bukan sebagai bentuk rekonstruksi sejarah berlangsungnya proses Islamisasi di Melayu, melainkan lebih merupakan ungkapan masyarakat lokal Melayu tentang penerimaan mereka terhadap Islam. Dalam hal ini nampak bahwa ungkapan mitologis digunakan sebagai bentuk penjelasan berlangsungnya perubahan keagamaan masyarakat yang berpusat di kerajaan.
Menurut AC Milner seorang antropolog tentang Melayu, di dunia Melayu bahkan sejak masa pra-Islam, sistem politik kerajaan disebut sebagai “the condition of having raja” yakni raja memegang peran sangat menentukan dalam kehidupan masyarakat. Dalam sistem kerajaan, raja atau penguasa digambarkan sebagai wujud ekstensi kekuasaan yang sepenuhnya menentukan kehidupan rakyat.
Beralih ke Islamisasi Jawa yang terjadi setelah Aceh memeluk Islam. Penganjur Islam yang mula-mula di Jawa datang dari kalangan istana Aceh, melalui istana di Jawa. Orang Jawa masuk Islam dengan suka rela, tanpa paksaan setelah melihat kesalehan para penganjur Islam yang datang dari negeri jauh.
Adapun para penganjur Islam bukan pedagang atau orang biasa, melainkan orang ningrat yang memiliki kedudukan tinggi dalam masyarakat. Kedudukan istimewa tersebut memudahkan rakyat biasa mengambil teladan, dan mencontoh. Maka, keajaiban-keajaiban yang menyertai para penganjur Islam seperti terekam dalam karya-karya historiografi tradisional itulah yang membuat orang tertarik kepada Islam, lalu masuk Islam dan pada akhirnya mengikuti beragam ajarannya.